Memang sebaiknya, razia cukur rambut dihilangkan. Lebih dititikberatkan pada membangun budaya positif di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, sekolah dan guru mulai membiasakan membuat kesepakatan sekolah atau kesepakatan kelas untuk lingkup yang lebih kecil. Misalnya, dalam rapat bersama seluruh siswa, pihak sekolah mengajukan pertanyaan, "Bagaimana tindakan yang bijak terhadap rambut panjang laki-laki di sekolah? ". Biarkan siswa yang mengajukan tindak lanjut jika ditemukan siswa laki-laki berambut panjang. Buat pula kesepakatan berapa ukuran minimal rambut pria dan berapa ukuran maksimalnya, termasuk modelnya seperti apa. Sekali lagi, siswa dibiarkan memberikan masukan. Setelah itu, guru memberikan kesimpulan atau menawarkan alternatif terbaik untuk dilakukan.Â
Nah, jika sudah terjalin kesepakatan antara siswa dengan sekolah dan gurunya, maka siswa juga akan mulai terbiasa dengan kesepakatan tersebut. Dengan catatan, setiap minimal sekali seminggu, misalnya di upacara penaikan bendera setiap hari Senin, sekolah melakukan sosialisasi kesepakatan kelas. Di sini frekuensi mengingatkan kesepakatan kepada siswa sangat penting. Perlu dihindari untuk melakukan sosialisasi hanya ketika mendapati ada siswa yang berambut panjang.Â
Jika memungkinkan, sebaiknya kesepakatan sekolah/kelas terdokumentasikan. Sekolah membuat semacam kartu atau buku saku yang dibagikan kepada seluruh siswa terkait kesepakatan yang telah dibuat. Cara lainnya adalah di papan mading sekolah atau di billboard sekolah, dipasang informasi terkait kesepakatan sekolah, salah satunya terkait rambut. Selebihnya, guru-guru di sekolah tidak mengenal lelah mengkampanyekan kesepakatan sekolah/kelas setiap hari.
Mimpi besar boleh ditargetkan dari sekarang akan efektifitas kesepakatan sekolah/kelas? Bukan tidak mungkin suatu hari nanti, jika anak sudah menjadikan kesepakatan kelas sebagai sebuah budaya, maka akan kita dapatkan kelas yang nyaman suasana belaajrnya meskipun tidak ada guru di dalamnya atau penilaian semester/ujian bisa berlangsung aman, tertib dan jujur tanpa pengawas ruang.
Tak ada salahnya mencoba untuk mulai memaksimalkan kesepakatan kelas dalam lingkup budaya positif. Karena bagaimanapun juga, masih ada etnis masyarakat tertentu yang masih memegang tradisi nenek moyang mereka tentang keistimewaan rambut. Tidak sembarang dipotong, mesti melalui ritual tertentu. Sanksi atau hukuman lewat razia cukur rambut tidak selalu sukses membuat jera anak. Membangun karakter yang baik sebaiknya menjadi fokus sekolah. Toh, jika razia cukur rambut masih dijalankan, sebaiknya bukan sebagai tanda hukuman. Guru yang melakukan razia seyogyanya merapikan rambut siswa ke ukuran sewajarnya bukan malah membuat jiwa siswa tidak tenteram. Jika perlu, pihak sekolah menghadirkan tukang cukur rambut di sekolah untuk merapikan rambut siswa yang melebihi batas ukuran.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H