Bangunan ini terdiri atas dua ruang kelas yang kemudian disekat secara swadaya oleh guru-guru. UPT SMPN Satap 2 Simbuang satu lokasi dengan UPT SMAN 13 Tana Toraja. Sehingga guru-gurunya pun tinggal dalam satu bangunan bekas ruang kelas tadi.
Selain bapak Kristian, di bangunan kelas tersebut juga tinggal beberapa ibu guru yang mengajar di UPT SMAN 13 Simbuang. Kalau tidak salah, dalam satu ruang kelas yang terdiri atas 4 bilik kamar, hanya pak Kristian yang merupakan guru SMP. Selebihnya dalah guru SMA.
Setalah bercakap-cakap ringan dengan beberapa guru lain yang tinggal di sana, demi memaksimalkan jaringan listrik turbin yang kadang kerlap-kerlip oleh karena daya yang kurang mampu, maka sesi makan malam kami diselingi dengan cerita seputar pendidikan guru penggerak, kurikulum merdeka dan sudah pasti yang paling lama kami perbincangkan adalah tentang Kecamatan Simbuang.Â
Dari sekian bab cerita pengalaman pak Kristian selama mengabdikan diri di Kecamatan Simbuang, saya hanya akan menyimpulkan bahwa ia telah mengabdi dengan tulus hati untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di sana dengan segala suka dan dukanya.
Menjelang pukul 11 malam, suara tiupan angin kencang sangat terasa di luar dan menusuk kulit meskipun sudah menggunakan jaket. Ruang kelas yang kami tempati sudah ditegel lantainya. Waktu saya menginjaknya, lantai berair. Bukan karena ada genangan air, tapi pengaruh cuaca yang sangat dingin.Â
Beruntunglah, kamar penginapan kepala UPT SMAN 13 Tana Toraja yang saya tempati (meskipun belum minta izin ke pemilik kamar, berhubung bapak kepala sekolah ada tugas luar), memiliki kasur jenis spring bed yang empuk dan sebuah selimut super tebal.
Dengan menambahkan kupluk di kepala, saya mencoba memejamkan mata. Berkali-kali saya mencoba untuk tidur, tetapi mata sulit terpejam. Entah karena cuaca yang sangat dingin atau karena pengaruh cerita yang sempat masuk ke telinga saya terkait bangunan sekolah yang kami tempati (informasinya akan saya tuliskan pada bagian berikutnya).
Intinya, saya susah tidur. Lampu listrik dari turbin dibiarkan tetap menyala. Meskipun kadang-kadang kerlap-kerlipnya yang tak mendapatkan daya yang memadai memberikan suasana seperti menonton film horror. Padam sekian detik atau redup beberapa saat kemudian terang benderang lagi.
Sebagai hiburan pengantar tidur, sesekali saya mengambil smartphone dan mencoba melihat-lihat kembali foto dan video yang sempat saya ambil selama perjalanan. Hanya itu hiburan saya mengingat kualitas jaringan internet masih minim sehingga tak memungkinkan untuk menjelajahi media sosial.
Di kamar sebelah para ibu guru, pak Kristian dan seorang rekannya telah tertidur pulas. Ya, mungkin karena mereka telah terbiasa. Hanya terdengar suara klasik khas yang saling bergantian dengan volume nafas yang berbeda.
Selepas tengah malam, di tengah suara gemuruh angin mengibaskan pinggiran atap yang terkelupas pakunya, akhirnya saya tertidur juga. Rasa capek di perjalananlah yang membuat tidur saya pulas selama dua jam berikutnya.Â