Jalan makin menanjak tajam, tikungan meliuk-liuk dan saya kembali bertemu tanjakan berbatu. Kontur dan kondisi masih sama dengan tanjakan yang baru saya lewati.
Setelah tanjakan ternyata saya bertemu tumpukan bebatuan yang sulit dilewati. Resiko postur tubuh pendek, makin sulit mengendalikan motor di tanjakan. Di sana ada sebuah motor bebek terparkir di sebelah kiri. Motor tersebut sebenarnya bukan diparkir, tetapi ditidurkan pemiliknya di sisi kiri jalan. Ditutupi daun yang sudah mengering. Kesimpulan saya, motor tersebut rusak dan ditinggalkan pemiliknya.Â
Pikiran saya kembali terganggu, bagaimana jika tiba-tiba rantai motor putus. Meskipun sudah sempat bertemu bengkel tadi, tapi untuk kembali ke bengkel, berpikir kembali mengingat kondisi jalan yang menantang.Â
Tanjakan ketiga yang curam kembali menyapa. Â Kali ini setengahnya berbatu dan sisanya mulai ada bekas rabat beton. Dengan bermandi peluh di balik baju dan helm berpadu dengan hawa dingin menjelang petang, saya sukses melewatinya. Memasuki ruas jalan yang dibeton, saya mendapati dua orang muda yang saya simpulkan sebagai sepasang suami istri muda yang berhenti di tanjakan. Motornya dipenuhi tas dan barang.Â
Saya menyapa mereka dalam bahasa Toraja.Â
"Salama' makaruen, maapamira to motor?"Â (Selamat sore, apa yang terjadi dengan motornya?).
Sang pria menjawab bahwa motornya terlalu panas dan tak kuat lagi mendaki. Mereka kembali dari kota Makale dan juga mau menuju ke Simbuang.Â
Saya pun melanjutkan pertanyaan, "Mambela pa ra ka tu disanga Simbuang?" (Masih jauhkah tempat yang bernama Simbuang?)Â
Mereka berdua tertawa dan hanya membalas agar saya mengikuti jalan besar, jangan pernah belok kanan. Dengan kondisi menjelang pukul 6 sore, mereka menambahkan bahwa malam baru tiba nanti di Simbuang.Â
Saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Saya sempat bertemu sebuah tikungan tajam menanjak dengan jurang menganga di sebelah kanan. Bekas longsor masih nampak bekasnya.