Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Akses Jalan Menuju Kecamatan Simbuang Menegangkan, Tetapi Ada Bonus

24 September 2023   17:43 Diperbarui: 29 September 2023   09:55 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar melintang di jalan sebagai pembatas ternak liar. Sumber: dok. pribadi

Kecamatan Simbuang dan Kecamatan Mappak adalah dua daerah yang masuk kategori terisolir dalam wilayah pemerintahan Pemda Tana Toraja. Berbekal tugas melaksanakan Pendampingan Individu 1 Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9, saya akhirnya bisa merasakan adrenalin di atas kendaraan dan menyaksikan sendiri seperti apa rupa jalan menuju Simbuang. 

Setelah pada tulisan sebelumnya saya bercerita tentang suka dan duka jalur dari Sandangan menuju Sa'dan, kali ini saya akan melanjutkan perjalanan saya melalui dusun Leppan. Ini adalah dusun yang memiliki beberapa rumah di pinggir jalan. Sekaligus kampung pertama yang saya temui setelah melewati jalur Sa'dan. 

Akses jalan menuju Kecamatan Simbuang memang menegangkan, tetapi ada bonus di perjalanan. Menegangkan karena rangkaian cerita dan pengalaman para pelintas.  Terdapat bonus di jalan, entah itu bonus terjatuh, terpeleset, terantuk batu atau bonus pemandangan alam yang luar biasa.

Baca Juga: Jangan Panik Jika Menemui Ini Ketika Menuju Kecamatan Simbuang, Tana Toraja

Sekitar pukul 5 sore saya mulai menyusuri dusun Leppan. Topografi tempat ini sedikit landai. Ini dikarenakan berada di pinggir sungai Massuppu' dan sekaligus berada di daratan terendah lembah pegunungan yang dilalui ketika menuju ke Kecamatan Simbuang. Kontur jalan berupa bebatuan bercampur tanah. 

Sebelum mengulas kondisi jalan, konon, dari berbagai cerita yang masuk ke telinga saya sebelum berangkat ke Simbuang, bahwa dulu, di sekitar Leppan inilah sering ada orang yang "disembunyikan" oleh penghuni jalan (makhluk halus dan sejenisnya). Sambil menyusuri jalanan berbatu dan sepi, saya pun sesekali bergidik dan mulai was-was. 

Tahun 2022 yang lalu, ketika musim hujan, akses jalan di Leppan ini adalah yang paling sulit dilalui. Baik kendaraan roda empat maupun roda dua sama-sama kesulitan menembus Leppan. Ini dikarenakan jalan yang landai dan penuh dengan genangan air serta kubangan lumpur. Bahkan seringkali jalan menyerupai sungai untuk dilewati karena air hujan menyatu dari pegunungan dan menjadikan jalan raya sebagai sarana untuk lewat. 

Meskipun jalan agak landai, akan tetapi motor tidak bisa dipacu dengan cepat. Hanya bisa memainkan gigi 1 dan 2. Bebatuan berwarna hitam yang licin menjadi penghambat laju motor. 

Di bagian kiri jalan berdiri kokoh sisi pegunungan bagaikan benteng Takeshi. Sementara di bagian kanan, berjejer sejumlah pohon jati. Tak ada atap rumah yang nampak selain lereng-lereng gunung yang berjejer rapi sejauh pandangan mata. 

Beberapa ratus meter setelah berlalu dari jembatan di sungai Massuppu', mulai terlihat pagar-pagar dari bambu dan kayu membatasi jalan raya dengan kebun di sampingnya. Ini pertanda bahwa di sekitar Leppan pun masih ada ternak liar yang lalu-lalang mencari makan.

Benar saja, akhirnya saya bertemu rumah penduduk. Sebuah rumah kayu mungil menyapa. Tanpa penghuni yang nampak, hanya sebuah kandang babi di sampingya yang mengeluarkan suara. Perasaan saya mulai tenang karena mendapatkan rumah. Semoga Simbuang sudah dekat di depan. 

Semakin lama saya melaju, kontur jalan landai dan berbatu seperti tiada akhir. Kapan sampainya. Sebuah mobil jenis Toyota Hilux 4x4 berwarna putih terparkir di sisi jalan ditutup terpal. Sepintas saya lihat, mobil tersebut sudah agak lama terparkir. Entah karena mesin over heating atau kehabisan bahan bakar, tapi sepertinya mobil tersebut sudah menyerah kembali ke ibu kota kabupaten.

Beberapa saat kemudian, saya disuguhi sebuah perkampungan kecil dengan beberapa rumah saja berada di pinggir sungai. Nampak jelas saya lihat dari arah bukit. Ada asap mengepul dari salah satu rumah disertai suara babi meminta makan sore.

Baca juga: Perjalanan ke Kecamatan Simbuang, Wilayah Terisolir Tana Toraja yang Menantang

Sebuah rumah panggung tanpa penghuni kembali menyapa. Jalan di depannya masih meninggalkan jejak musim hujan tahun lalu. Ternyata kolong rumah kosong menjadi tempat beristirahat bagi yang capek mengendalikan kendaraan. Lalu, sebuah rumah panggung dengan tiga motor dan satu truk terparkir di kolongnya. Tak ada orang untuk bertanya. Saya terus melaju perlahan.

Dengan jalan yang mulai menanjak dan medan berbatu, rasa pegal di bahu mulai memberi kode. Sekitar 5 rumah penduduk dan satu bangunan gereja tanpa dinding menyambut saya kemudian. Ada tiga orang di sana, satu lansia duduk di teras dan sepasang suami istri bahu membahu mengecor jalan ke kolong rumah mereka. Saya hanya melempar senyum dan membunyikan klakson dua kali sebagai sapaan. 

Sekitar 5 rumah penduduk dan satu bangunan gereja tanpa dinding menyambut saya selanjutnya. Ada satu rumah besar dengan peralatan bengkel. Ya, bengkel motor. Sekarang ada gambaran lokasi jika motor ada kendala di jalan. Sayangnya, tak ada orang di sana. 

Di depan saya kembali hadir pagar penutup jalan yang disebut SULU'. Oleh karena pagar terbuka, jadi saya terus melaju. 

Selepas tikungan tajam dan sungai kecil, sebuah tanjakan curam menantang saya. Sejenak saya berhenti dan minum air. Tangan saya berkeringat keras. Batuan besar dan sedang bergelimpangan di jalan. Jalur yang bisa dilalui adalah di bagian kanan bahu jalan yang berbatasan dengan kebun berpagar bambu warga. 

Tak ada pilihan, jika saya berhenti lama, gelap sudah menanti di depan. Saya arahkan motor ke jalan yang mudah dilewati. Dengan menurunkan kedua kaki, akhirnya saya bisa melewati tanjakan berbatu sejauh kurang lebih 100 meter. Tulang kering kaki kiri saya mendapat bonus pertama, yakni terantuk ke batu dan pedal stan kaki.  Rasanya... Ya.. Ampun.... jangan ditanya perihnya.

Beruntung, di punggungan bukit yang ditumbuhi beberapa pohon jati, saya berhenti sejenak mengambil nafas. Pemandangannya indah dengan lereng pegunungan hijau. Jauh di depan, hutan pinus yang tak meninggalkan jejak pemukiman manusia. Di tempat saya berhenti adalah bukit batu warna hitam. Jalan pun dipenuhi bebatuan hitam. Seteguk dua teguk air mineral membasahi leher.

Jalan makin menanjak tajam, tikungan meliuk-liuk dan saya kembali bertemu tanjakan berbatu. Kontur dan kondisi masih sama dengan tanjakan yang baru saya lewati.

Setelah tanjakan ternyata saya bertemu tumpukan bebatuan yang sulit dilewati. Resiko postur tubuh pendek, makin sulit mengendalikan motor di tanjakan. Di sana ada sebuah motor bebek terparkir di sebelah kiri. Motor tersebut sebenarnya bukan diparkir, tetapi ditidurkan pemiliknya di sisi kiri jalan. Ditutupi daun yang sudah mengering. Kesimpulan saya, motor tersebut rusak dan ditinggalkan pemiliknya. 

Pikiran saya kembali terganggu, bagaimana jika tiba-tiba rantai motor putus. Meskipun sudah sempat bertemu bengkel tadi, tapi untuk kembali ke bengkel, berpikir kembali mengingat kondisi jalan yang menantang. 

Tanjakan ketiga yang curam kembali menyapa.  Kali ini setengahnya berbatu dan sisanya mulai ada bekas rabat beton. Dengan bermandi peluh di balik baju dan helm berpadu dengan hawa dingin menjelang petang, saya sukses melewatinya. Memasuki ruas jalan yang dibeton, saya mendapati dua orang muda yang saya simpulkan sebagai sepasang suami istri muda yang berhenti di tanjakan. Motornya dipenuhi tas dan barang. 

Saya menyapa mereka dalam bahasa Toraja. 

"Salama' makaruen, maapamira to motor?"  (Selamat sore, apa yang terjadi dengan motornya?).

Sang pria menjawab bahwa motornya terlalu panas dan tak kuat lagi mendaki. Mereka kembali dari kota Makale dan juga mau menuju ke Simbuang. 

Saya pun melanjutkan pertanyaan, "Mambela pa ra ka tu disanga Simbuang?" (Masih jauhkah tempat yang bernama Simbuang?) 

Mereka berdua tertawa dan hanya membalas agar saya mengikuti jalan besar, jangan pernah belok kanan. Dengan kondisi menjelang pukul 6 sore, mereka menambahkan bahwa malam baru tiba nanti di Simbuang. 

Sebuah tanjakan dengan sisi gunung bekas longsor dan jurang di depannya di jalur Leppan-Makkodo. Sumber: dok. pribadi
Sebuah tanjakan dengan sisi gunung bekas longsor dan jurang di depannya di jalur Leppan-Makkodo. Sumber: dok. pribadi

Saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Saya sempat bertemu sebuah tikungan tajam menanjak dengan jurang menganga di sebelah kanan. Bekas longsor masih nampak bekasnya.

Sedikit pelan saya melaju. Hujan rintik-rintik menyambut. Tanjakan makin curam diselingi tikungan tajam. Entah ini masih wilayah Leppan atau bukan yang jelasnya jalan seperti tiada ujung. Belum ada pertigaan sejak dari Sa'dan. Artinya jalur masih aman dari ketersesatan. 

Pada sebuah tanjakan curam dan disambut tikungan tajam yang rabat betonnya terkelupas sebagian, saya berpapasan dengan sebuah ambulance yang meluncur pelan.

Selain sopir, hanya ada seorang ibu dengan anak kecil menemani sopir, sementara di bagian belakang tidur seorang pasien wanita. Sekali lagi hanya klakson yang saya bunyikan sebagai tanda perkenalan di jalan. 

Tetesan hujan mulai menembus jaket waterproof yang saya pakai. Beruntung tas ransel berisi laptop di punggung sudah saya pasangi pelindung waterproof sejak dari kota Makale. 

Sebuah gereja mungil di ujung bukit menarik mata saya. Makin tinggi menanjak gereja tersebut makin jelas. Saya berencana untuk berteduh di gereja tersebut.

Ternyata semakin dekat gereja tersebut, makin menjauh dari jalan. Pertigaan pertama yang saya temui adalah pertigaan menuju gereja. Tiga bapak-bapak bersenda gurau di kolong rumah. Bunyi klakson dua kali kembali saya berikan sebagai tanda izin lewat dan tanda perkenalan. 

Luar biasa, ternyata gereja itu  dibangun di ujung bukit dan di sebelahnya langsung berbatasan dengan jurang. Selanjutnya, lokasi gereja berada ini bernama Lembang Makkodo. Ini saya kemudian tahu setelah saya tiba di Puangbembe dan menanyakannya.

Sebuah gereja mungil setelah melewati Leppan menuju Kecamatan Simbuang. Sumber: dok. pribadi.
Sebuah gereja mungil setelah melewati Leppan menuju Kecamatan Simbuang. Sumber: dok. pribadi.

Hujan deras deras, jalanan mulai basah dan berair. Beruntung jalan menanjak entah sudah berapa kilometer sudah dirabat beton. Saya tidak peduli lagi sudah jam berapa.

Suasana perjalanan masih terang-benderang meskipun mulai hujan dan kabut dingin mulai keluar dari sarangnya. Tiga ekor kerbau liar mengendus saya yang melaju pelan. Sepertinya motor pun mulai meminta istirahat sejenak. Maka berhentilah saya dan mengambil dokumentasi gereja di ujung bukit yang menawan.

Di tempat saya mengambil foto pun berdiri sebuah gereja mungil. Kursi-kursinya terlihat jelas dari jalan karena tidak berdinding. Sudah tiga bangunan gereja yang saya temui sejauh ini sejak masuk Leppan, tapi saya lupa mendikumentasikan papan nama gereja-gereja tersebut.  

Rasa capek, was-was, dan cenderung khawatir sewaktu melewati dusun Leppan sedikit terobati dengan pemandangan yang luar biasa. Perut saya mulai meminta bahan bakar. Nasi bungkus masih rapi bersama beberapa baje' dalam plastik yang saya taruh dalam bagasi motor. 

Baca juga: Baje', Penganan Tradisional dan Sakral di Gandangbatu Sillanan

Entah masih berapa kilometer lagi menanjak. Akankah ada pondok kecil di atas tanjakan ini nantinya, semisal pos ronda untuk tempat saya mengisi perut sejenak? Semoga bisa tiba di Simbuang dengan selamat.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun