Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Jangan Panik Jika Menemui Ini Ketika Menuju Kecamatan Simbuang, Tana Toraja

22 September 2023   12:11 Diperbarui: 23 September 2023   05:16 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar ternak penutup akses jalan menuju Simbuang. Sumber: dok. pribadi

Berbicara tentang jalur menuju Kecamatan Simbuang akan selalu menjadi cerita unik. Kali ini saya melanjutkan perjalanan saya menuju Lembang (desa) Puangbembe Mesakada di Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja dalam rangka melaksanakan Pendampingan Individu I Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9. Akses jalan yang saya lalui adalah dusun Sandangan ke Sa'dan. O ya, jalur Sa'dan inilah rute pertama yang berat ketika menuju Kecamatan Simbuang. 

Melewati dusun Sandangan, tidak ada lagi rumah-rumah penduduk. Di ujung dusun, saya menemui pagar yang menutupi jalan. Pagar ini dibuat seadanya dari potongan bambu dan balok kayu. 

Tapi, jangan panik. Pagar ini bukan tanda larangan "Dilarang Melintas." Fungsinya adalah sebagai pembatas ternak liar agar tidak masuk atau merusak tanaman dan kebun warga. Dalam bahasa masyarakat lokal di sana pagar penutup jalan pembatas ternak ini disebut SULU'. 

Pemasangan SULU' ini adalah bagian kearifan lokal di sana. Demi kenyamanan bersama, maka SULU' sangat berperan dalam mengamankan tanaman warga dari serbuan ternak kerbau, kuda dan sapi. 

Di sepanjang jalur menuju Kecamatan Simbuang hingga Kecamatan Mappak, akan ditemui banyak SULU' dan beberapa kawanan kerbau liar yang mencari makan, ada pula kawanan kuda liar. 

Maka, pagar yang menutupi jalan raya adalah tanda akhir petualangan ternak mencari makan. Ada pintu kecil di sebelah kiri. Pintu kecil ini adalah jalur pengendara motor. 

Sementara pagar besar bisa dibuka jika mengendarai mobil. Jangan lupa menutup pagar besar tersebut kembali. 

Saya sempat membantu untuk membuka dan menutup pagar penutup jalan ini untuk dilewati mobil ambulance yang pulang merujuk pasien dari kota Makale. Saat itu, saya sudah kembali dari Simbuang. 

Sepanjang akses jalan di Sandangan - Sa'dan sudah tidak ada kendaraan dan manusia yang saya temui di jalan. Mungkin karena sudah sore hari atau memang sudah batas pemukiman warga.

Di bagian kiri jalan hanya lembah dan jurang yang ditutupi pepohonan. Sementara sisi kanan jalan adalah sisi pegunungan yang bentangannya sejauh mata memandang. Suara burung-burung sore sayup-sayup terdengar masuk ke telinga saya berpadu dengan deru pelan mesin motor.

Pada satu tikungan tajam berbatu di punggungan bukit, terdapat satu jalur ke arah kanan. Agak lebar, tetapi terlihat jarang dilalui kendaraan, tak ada bekas roda mobil maupun motor. Saya teringat pesan seorang ibu di Sandangan bahwa saya tidak boleh mengambil jalan ke arah kanan. 

Ya, belokan ke kanan ini adalah jalur alternatif menuju kampung Balepe' di Kecamatan Malimbong Balepe'. 

Jalan berupa tanah berdebu menyambut saya kemudian. Untunglah musim kemarau, sehingga jalan tidak berlumpur dan mudah dilewati. Tetapi berkali-kali ban motor terpeleset yang turut mengundang rasa pegal di pinggang dan punggung. 

Sepintas di sepanjang jalan masih nampak bekas kubangan besar bekas musim hujan yang lalu. Selanjutnya jalan berupa tanah berbatu bercampur pasir. 

Jalur Sa'dan menuju Simbuang ini berupa penurunan tajam yang dihiasi tikungan tajam. Bekas-bekas rabat beton sering saya jumpai di beberapa titik. 

Lalu tibalah saya pada salah satu tikungan tajam ekstrim dengan ujung jurang  curam. Terlintas di benak saya tikungan inilah yang sempat viral di media sosial jika musim hujan. Kadang mobil harus ditarik dan pengendara motor mendorong motornya. 

Jalan tanah menuruni pegunungan menuju Simbuang. Sumber: dok. pribadi
Jalan tanah menuruni pegunungan menuju Simbuang. Sumber: dok. pribadi

Keringat dingin meluncur deras dari kepala saya. Pun demikian dengan jari-jari tangan saya bermandikan peluh. Tikungan tersebut sudah dirabat beton beberapa meter, tapi sudah berlubang. 

Tangan mulai pegal menahan keseimbangan motor. Pedal rem saya injak, tapi motor tetap bergerak. Hanya ada satu ruas berupa patahan rabat beton menyerupai parit seukuran ban motor yang bisa dilalui. Selebihnya, patahan rabat beton dengan lompatan yang tak memungkinkan dilalui motor. 

Perlahan, motor saya turunkan. Sesekali saya menengok ke jurang di sebelah kiri. Bagaimana kalau sampai terpeleset? Ahh.. Akhirnya lolos dari tikungan. Namun hanya beberapa puluh meter, tikungan serupa saya jumpai lagi. 

Kali ini rabat beton agak bagus, cuma jalurnya agak menukik turun dengan jalan berbatu. Tak sempat lagi saya mengambil dokumentasi. 

Tangan rasanya pegal sementara keringat makin basah di balik baju. Terhitung ada tiga tikungan tajam dengan yang wajib berhati-hati ketika melewatinya. Saya mulai membayangkan sulitnya jalan ini dilalui jika kembali nantinya. 

Dengan pelan dan penuh kehati-hatian, saya memacu motor menapaki ruas-ruas jalan berbatu. Kapan selesainya penurunan berbatu ini. Tak ada siapapun yang saya temui. 

Hanya bunyi penghuni hutan yang menemani. Jam sudah menunjukkan pukul 4.20 sore. Belum ada tanda-tanda bertemu manusia selain jejak kotoran kerbau liar di kiri kanan jalan. Mau berhenti, ada rasa takut dalam diri saya. Mungkin karena pertama kalinya lewat jalur ini, rasanya sangat lama. 

Setelah jalan agak landai dan mulai rata, saya melihat dari kejauhan  ada jembatan. Artinya, saya harus melewati sebuah sungai, yang mana akhirnya saya tahu nama sungainya adalah sungai Massuppu. 

Saya bersemangat memacu motor. Ternyata semangat besar saya hanya bertahan sesaat. Sekitar 200 meter sebelum jembatan, ada penurunan yang agak curam. 

Batu-batu bergelimpangan tak beraturan. Tangan makin basah menahan motor dan makin pegal. Injak rem kaki, tapi motor tetap bergerak perlahan. 

Jantung masih berdegup kencang memandangi bebatuan yang saya lewati. Tibalah saya pada ujung jembatan. Berharap di sana ada bangunan atau rumah tempat istirahat sejenak.

Ternyata hanya ada jembatan dan suara air sungai. Tercium bau busuk menyengat. Segera saya pacu motor. Di tengah jembatan, saya melihat dua ekor kerbau sedang tidur santai di samping kolong jembatan. 

Tak ada rumah. Hanya sungai dan rangkaian pegunungan hutan pinus. Tiba di seberang, saya membuka helm dan menyempatkan minum air. Saya memandangi jalur yang saya lewati dari jalur Sa'dan. 

Benar-benar curam jalurnya. Menuruni sisi lereng gunung. Sekali lagi, saya mulai membayangkan bagaimana susahnya mendaki jalan tersebut saat saya kembali. 

Dan.... Ternyata ada sesuatu yang lupa saya bawa. Bukan mantel atau ayam goreng. Saya lupa membawa peralatan bengkel darurat. Tak satupun peralatan reparasi motor. Terutama sambungan rantai motor dan tang. Aduh! Semoga tidak ada kejadian yang tak diinginkan terjadi sepanjang perjalanan. 

Sedikit membuat saya percaya diri adalah pernyataan kawan saya yang pernah bertugas di Kecamatan Simbuang. Ia mengatakan bahwa ia biasa berangkat jam 5 sore dari Makale. 

Menembus jalur hutan, berbatu dan ekstrim ke Simbuang dan tiba di sana sekitar pukul 10 malam. Perjalanan itu ia lakukan saat musim kemarau seperti sekarang ini. 

Jalur ke Simbuang lewat Sa'dan saat musim kemarau. Sumber: dok. pribadi. 
Jalur ke Simbuang lewat Sa'dan saat musim kemarau. Sumber: dok. pribadi. 

Jalan di depan saya kini memanjang dengan kombinasi bebatuan warna hitam dan tanah pucat. Agak landai mengikuti pinggiran sungai. Di sisi kiri dan kanan memanjang dua sisi pegunungan.

Entah seperti apa kontur jalan selanjutnya dan seberapa jauh di depan saya akan bertemu manusia dan rumah penduduk. Tepat pukul 5 sore. Lokasi Simbuang belum jelas dan tak ada tempat bertanya. 

Tak ada orang yang lewat satupun. Sedikit rasa was-was dan takut menerpa pikiran saya. Pada akhirnya saya memilih mengikuti jalan satu-satunya tersebut dengan satu harapan bisa tiba di Simbuang, wilayah terisolir, sebelum gelap. 

Sekarang saya ada di kampung yang dinamai Leppan. Menurut cerita para pelintas Simbuang-Mappak, kampung Leppan adalah lokasi di mana banyak jalan licin, berbatu dan berlumpur di musim hujan. 

Pikiran saya terus melanglang buana memikirkan cerita dan menyesuaikan dengan pandangan mata langsung saya.... 

(Bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun