Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pongrea, Kampung Eksotis di Pedalaman Tana Toraja

8 Agustus 2023   15:26 Diperbarui: 9 Agustus 2023   20:18 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ciri khas warga Pongrea mengenakan sarung. Sumber: dok. pribadi

Indonesia memiliki keindahan alam yang tak akan habis dikunjungi hingga kita kembali kepada Sang Pencipta. Bagi pecinta wisata alam dan travelling, seluruh pelosok tanah air menunggu untuk dikunjungi. Di daerah saya, Tana Toraja juga menyuguhkan tempat-tempat indah yang eksotis. 

Hari ini, saya melakukan perjalanan ke salah satu kampung di Tana Toraja. Agenda perjalanan sebenarnya bukanlah travelling atau kunjungan wisata. Perjalanan kami berjarak kurang lebih 70 km dari perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang. Maksud perjalanan kami adalah mengantar salah satu anggota gereja dalam rangka melaksanakan lamaran. Adapun wanita yang dilamarnya berdomisili di salah satu kampung di bagian barat Tana Toraja.

Nama kampungnya adalah Pongrea. Terletak di Lembang (desa) Balla, Kecamatan Bittuang. Akses jalan sejauh 30 km telah diaspal, walaupun beberapa kilometer diantara kampung Se'seng dan Bittuang masih sementara dalam pengerjaan, yakni pelebaran, rabat beton dan pengaspalan. 

Memasuki ibu kota kecamatan Bittuang, kami belok kanan di pertigaan menuju perkebunan kopi  PT Sulotco. Oya, perkebunan kopi ini dikelola oleh salah satu produsen kopi nasional, yakni Kapal Api. Namun, tujuan kami tidak sampai ke PT Sulotco. Kurang lebih 2 km dari Bittuang, kami belok kanan lagi. Di sinilah kampung Pongrea. Akses jalan yang kami lalui sudah dirabat beton, akan tetapi mendaki, sedikit curam dan sempit. Sekitar 100 meter jalur menanjak dihiasi persawahan tradisional di bagian kiri dan kanan jalan.

Pemandangan luar biasa tersaji manakala kami memandang sekeliling. Persawahan tradisional masyarakat Pongrea seolah mengobati penat perjalanan. Di beberapa sudut kampung berdiri kokoh gereja dari berbagai denominasi. Di antara bangunan gereja yang saya hitung sebanyak 6 bangunan, juga berdiri kokoh bangunan tradisional rumah adat Toraja, yakni Tongkonan disertai alang (lumbung). Bangunan-bangunan ini menambah keindahan dan daya eksotis kampung Pongrea.

Pemandangan dari kampung Pongrea. Sumber: dok. pribadi
Pemandangan dari kampung Pongrea. Sumber: dok. pribadi

Oya, air di kampung ini sangat jernih dan dingin. Saya lupa membawa jaket dan sarung. Kampung Pongrea berada di ketinggian kurang lebih 1.200 mdpl. Angin yang berhembus tiada henti membawa dingin yang menusuk kulit hingga tulang. Walaupun matahari masih menampakkan diri di pukul 3 sore, namun cuaca dingin sangat terasa. 

Suguhan kopi khas Bittuang menjadi sajian ramah tamah di kampung Pongrea. Kopi panas dengan asap mengepul mengundang selera untuk segera dinikmati. Sekali lagi, cuaca dingin menusuk kulit seolah membuat kopi panas tak terasa sengatannya di lidah. 

Ciri khas warga Pongrea mengenakan sarung. Sumber: dok. pribadi
Ciri khas warga Pongrea mengenakan sarung. Sumber: dok. pribadi

Uhh...dingin menusuk kulit dihangatkan oleh pemandangan alam kampung Pongrea. Masyarakatnya ramah, seramah alamnya. Karena dinginnya, hampir sepanjang hari, warga di kampung ini selalu mengenakan sarung. Satu jam duduk di lumbung selalu terhempas angin sepoi-sepoi yang menusuk kulit mulai membuat kepala saya pening. Untuk mengusir dingin, saya sering melempar pandangan ke sekeliling tempat duduk saya yang berhiaskan persawahan dan hutan pinus di lereng-lereng perbukitan yang mengelilingi kampung Pongrea. 

Ada yang unik saya lihat. Anak-anak balita yang banyak berkeliaran di tempat acara lamaran berlangsung, sedikit pun tidak menggunakan jaket atau sarung. Mungkin mereka telah terbiasa akan dinginnya cuaca sehingga mereka tertawa ceria sambil bermain.

Kampung Pongrea boleh dikata masih kampung tradisional. Meskipun modernisasi sudah mulai hadir, akan tetapi warganya masih mempertahankan tradisi dan budayanya. Di acara lamaran ini, para ibu-ibu berbondong-bondong datang ke rumah keluarga perempuan. Mereka masing-masing membawa bungkusan. Adapun isi bungkusan adalah gula pasir, kopi atau beras. Tradisi ini sudah jarang ditemui di kampung-kampung lain di Toraja, apalagi di kota. Seandainya perjalanan ini adalah perjalanan wisata, saya akan mengeksplor kampung ini lebih jauh. Salah seorang tokoh masyarakat kampung mengatakan bahwa mulai besok akan diadakan upacara adat ma'nene', yaitu upacara mengganti pakaian jenazah. Saya penasaran, tetapi saya harus pulang ke kota Makale, mengantar beberapa keluarga yang saya angkut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun