Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan ke Sangbua di Lembang Kaduaja, Gandangbatu Sillanan, Tana Toraja

1 Februari 2023   22:05 Diperbarui: 1 Februari 2023   22:22 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu keindahan dari puncak Sangbua, Tana Toraja. Sumber Foto: Dok. Pribadi

Di negeri ini, Nusantara, Indonesia, terdapat ribuan atau bahkan jutaan tempat menarik untuk dikunjungi. Tempat menarik itu tak selamanya harus bertualang ke daerah lain atau provinsi lain. Kadang kala, cukup di sekitar daerah domisili kita, terdapat spot menarik yang layak untuk dikunjungi dan diabadikan.

Hari ini, berhubung jam mengajar saya di sekolah dimulai pukul 14.30 hingga pukul 16.40, saya melakukan perjalanan saya ke salah satu kampung yang lokasinya di bagian selatan kabupaten Tana Toraja. Nama kampungnya, Dusun Sangbua, terletak di wilayah pemerintahan Lembang (Bahasa Toraja dari Desa) Kaduaja, Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.

Sekilas Sangbua

Dusun Sangbua adalah salah satu kampung dengan lokasi tertinggi di Kecamatan Gandangbatu Sillanan. Walaupun tempat ini masih berada dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja, namun saya belum pernah menginjakkan kaki di sana. Selama ini saya hanya memandanginya dari jauh dengan hiasan kilauan atap seng di siang hari dan kerlap-kerlip lampu di malam hari. 

Mata pencaharian utama masyarakat setempat adalah bertani sayuran. Sangbua adalah salah satu penghasil kol, kentang, tomat, lombok, wortel, dan bawang prei. Selain itu, tempat ini adalah salah satu penghasil kopi. Tak diragukan lagi kualitas kopinya sangat baik karena berada di ketinggian. Cuaca di Sangbua sangat dingin. Tengah hari pun biasa hujan rintik-rintik dan berkabut. 

Masyarakat Sangbua menganut agama Kristen dan Islam. Tapi, dari informasi masyarakat setempat, masih terdapat satu dua orang yang menganut agama kepercayaan (dalam Bahasa Toraja: Aluk Todolo).

Pernah, beberapa tahun yang lalu, salah satu tokoh masyarakat Toraja yang berasal dari Lembang Kaduaja, bapak Dr. Ir. Ophir Sumule, DEA; melakukan postingan di grup media sosial Facebook tentang lokasi ini yang mana tidak terjangkau oleh kendaraan roda empat. Sekilas saya melihat foto-foto yang beliau posting, jalanan di Sangbua di beberapa titik memang telah dirabat beton, namun hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua oleh karena topografi lokasi di pegunungan berbatu dan sempit. Kemudian, beliau mengusulkan untuk membuka dusun Sangbua sebagai salah satu destinasi wisata alam dan pertanian di Tana Toraja. 

Tampak dari puncak Sangbua, kondisi jalan yang sudah dirabat beton tapi hanya muat untuk sepeda motor. Sumber Foto: Dok. Pribadi.
Tampak dari puncak Sangbua, kondisi jalan yang sudah dirabat beton tapi hanya muat untuk sepeda motor. Sumber Foto: Dok. Pribadi.

Tiga Kali Terjebak di Jalan

Pukul 10 pagi saya berangkat dari Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Tujuan saya ke Sangbua bukan untuk menikati pemandangannya. Tapi, untuk bertemu satu-satunya pemahat lesung batu di sana. Ada 4 macam lesung batu yang akan saya beli. 

Di Mebali, belok kanan ke jalan poros Buntu. Kurang lebih 40 menit saya tiba di pertigaan Buntu-Kaduaja-Pantawanan. Menuju Pantawanan, jalan sudah bisa dilalui mobil. Kondisi jalan menuju Sangbua masih jalan berbatu. Di beberapa titik sudah ada bekas rabat beton.  Perumahan penduduk juga sudah mulai ramai di kiri-kanan jalan. Sepanjang jalan menuju Pantawanan, secara bergantian disuguhi pemandangan kebun sayur kol, tomat, lombok, bawang prei, kentang, bukit batu karst, kebun kopi dan cengkeh. 

Oleh karena jalur merupakan semi tanjakan dengan hiasan beberapa titik jurang di sebelah kiri, saya hanya mengandalkan gigi satu dan dua. Kaki sedikit pegal menginjak pedal kopling. Terutama ketika co-driver saya, sang putri kecilku bangun dari tidurnya. Saya harus membagi konsentrasi. 

Berdua dengan anak, menyusuri jalan ke Sangbua. Sumber Foto: Dok. Pribadi.
Berdua dengan anak, menyusuri jalan ke Sangbua. Sumber Foto: Dok. Pribadi.

Di jalan, sesekali hanya berpapasan dengan pengendara motor dan petani yang membersihkan rumput di sela-sela kebun bawang. Sedikit was-was, jantung berdegup kencang melalui jalanan berbatu. 

Bunyi kolong mobil pun sering terdengar karena terantuk bebatuan yang menonjol di beberapa titik pendakian. Sekitar dua kilometer mendaki, mobil meraung-raung, asap hitam dari ban mengepul di belakang. Pas di tikungan tajam belokan ke kiri dan mendaki, terdapat timbunan tanah warna kuning yang masih baru menutupi sisa rabat beton yang telah hancur.

Mau pulang balik saja, kondisi jalan tak memungkinkan untuk putar haluan. Selain itu, sudah tanggung juga perjalanan saya jika harus kembali dan tidak membawa apa yang saya akan ambil di Sangbua.

Saya mencoba beberapa kali melalui tanjakannya, tapi gagal. Putriku pun tiba-tiba menangis, mungkin karena ketakutan dengan raungan mobil. Saya menengok ke belakang, ternyata mobil sedikit lagi masuk selokan dan menimpa bebatuan. Segera mesin saya matikan dan mengganjal mobil dengan batu. Mau minta tolong, tak ada satupun orang yang lewat. Ada dua rumah di sekitar tikungan itu, tapi pintu tertutup. Mungkin semuanya pergi ke kebun, apalagi jam saat itu menunjukkan pukul 11.40. 

Sekitar 5 menit berselang, muncul tiga pengendara motor berboncengan dari arah atas. Salah satu dari mereka, yang berambut gondrong diikat, memimpin teman-temannya untuk membantu saya. 

Mereka meminta tali untuk menarik mobil, sementara yang lainnya menahan dan mendorong di belakang. Saya masih sempat ragu, apakah mobil bisa ditarik dan didorong dengan kondisi jalan becek, berlumpur, menikung dan sedikit mendaki? Sambil beripikir akan solusi, saya bercakap-cakap dengan para pemuda tersebut. Mereka bukan warga Sangbua. Mereka dari kampung di sebelah Sangbua, tepatnya dari Pa'buaran di Kecamatan Makale Selatan. jalur ini adalah jalur alternatif bagi mereka untuk menuju Pasar Buntu dan Pasar Sudu di Enrekang.

Momen ketika beberapa pemuda membantu saya dengan menarik mobil di tanjakan berlumpur. Sumber foto: Dok. Pribadi.
Momen ketika beberapa pemuda membantu saya dengan menarik mobil di tanjakan berlumpur. Sumber foto: Dok. Pribadi.
 

Langit sudah mulai mendung dan hawa dingin pegunungan menusuk kulit. Sandal jepit saya lepas, karena sudah bermandikan lumpur. Mengikuti panduan para pemuda tersebut, setelah dua kali percobaan gagal, akhirnya mobil bisa lolos di tanjakan tersebut dengan resiko mobil dihadiahi goresan. Mereka berteriak senang dan bertepuk tangan. Tak sempat bercerita lagi mereka langsung pamit melanjutkan perjalanan. Saya pun membalas dengan teriakan "kurre sumanga' sangmane" (terima kasih teman). 

Perjalanan saya lanjutkan. Kondisi jalan masih jalanan berbatu dan sedikit licin ditambah hujan rintik-rintik mulai turun. Selanjuntya, hanya ada dua anak anjing mungil yang saya temui di tengah jalan yang bebatuannya lumayan menguji adrenalin. Ah, terpaksa mobil saya hentikan sejenak dan menghalau anjing-anjing lucu tersebut. Jalannya lebih lambat dari pengantin, melenggak-lenggok santai di tengah jalan dan tak  menghiraukan teriakan saya. 

Satu kilometer kemudian, dengan kondisi yang mirip sebelumnya, menanjak, bekas patahan rabat beton yang terjal, mobil meraung tak bisa lewat. Lokasinya di Pantawanan, tepat di pertigaan menuju Sangbua-Pa'buaran.  Di depan ada papan nama Gereja Kibaid Jemaat Panawanan, dan beberap rumah penduduk. Tapi tak ada seorang pun yang nampak. 

Ah..elus dada lagi dan anak kembali menangis mendengar raungan mesin mobil. Dengan sedikit berbasah-basahan bersama hujan rintik-rintik, saya mencoba mengumpulkan bebatuan dan menambal jalanan yang becek oleh timbunan tanah yang berlumpur. Sekitar lima kali saya mencoba mundur dan maju hingga akhirnya berhasil. Jangan ditanya lagi bagaimana dengan keringat. Mengalahkan butiran jagung. 

Baru lewat seratus meter di jalur menuju dusun Sangbua, keringat masih mengalir dan jantung masih lari sprint, mobil terhenti lagi. Parahnya, pas di tikungan tajam360 derajat, sedikit menanjak, kondisi jalan berupa patahan rabat beton yang berpasir dengan campuran batuan lepas. Yang membuat jantung tak bisa tenang, di bagian kiri, adalah jurang dengan sasaran rumah di bawahnya andaikan mobil terpeleset satu meter saja. Puluhan kali saya mencoba, tapi gagal. Hujan mulai turun dan saya pun memilih membiarkan mobil terparkir di tengah jalan sambil berharap ada orang yang lewat. 

Jam tangan menunjukkan pukul 12.35. Saya mulai ragu, tak bisa masuk mengajar sore. Langit makin hitam dan kabur mulai menutupi wilayah Pantawanan. Untungnya co-driverku memilih bermain dan sedikit menenangkan situasi menunggu dalam mobil. 

Menjelang pukul 13.00, seorang pemuda muncul dari atas. Ia mencoba membantu, tapi mobil masih gagal melaju. Akhirnya saya persilahkan ia melanjutkan perjalanannya. Harapan saya, cuma satu, hujan sangat deras akan turun agar air mengalir sehingga ban lebih mencengkram untuk lewat. Tapi, sang pemuda berkata, hujan akan selalu dalam begitu, hujan ringan saja dan lama baru berhenti. Ya...mau mundur, resiko terjun ke jurang, mau maju, mobil tuaku enggan melaju. 

Pukul 13.05, muncullah seorang bapak dari arah belakang. Ia membonceng dua putrinya yang berseragam sekolah. Ia pulang menjemput anaknya dari salah satu sekolah di Buntu. Bisa saya bayangkan, jarak yang harus ditempuh anak-anak dari Sangbua untuk bersekolah. Untungnya, jalanan sudah bisa dilalui kendaraan dan ada motor. 

Beliau langsung menawarkan bantuan dan mencoba memandu saya agar bisa melewati tikungan tajam dan terjal itu. Sementara kedua anaknya ia minta untuk berjalan kaki. Empat kali percobaan pertama mundur sedikit dan maju, masih gagal. Sedikit putus asa, saya berujar, semoga segera hujan lebat. 

Sang bapak masih setia menemani saya. Ia berujar, bahwa titik ini adalah titik terakhir yang rusak. Jalan ke Sangbua, sudah mulus dirabat beton, walaupun kecil dan mobil hanya sampai di puncak Sangbua, selanjutnya hanya motor yang bisa lewat.

Sambil bercerita tentang kehidupan masyarakat di Sangbua, pemahat lesung batu yang akan saya temui dan obrolan asik akan Pemilu 2024, kami menimbun jalur berpasir dengan bebatuan yang ada. Sedikit ekstrim, beliau mengusulkan agar saya berani menikung kanan tajam, ban sebelah kiri sedikit mengenai pohon kopi, dengan gas agak tinggi. Saya mencoba dan berhasil. Saya menengok spion, beliau melambaikan tangan agar saya terus mendaki. 

Perjalanan saya lanjutkan. Pemandangan dari lereng Sangbua begitu menakjubkan. Walaupun langit mendung dan sedikit rintik-rintik, jauh di sebelah kiri saya, tampak wilayah kabupaten Enrekang. Landscape yang luar biasa dati Sangbua.

Wilayah kabupaten Enrekang yang tampak dari Sangbua. Sumber foto: Dok. Pribadi.
Wilayah kabupaten Enrekang yang tampak dari Sangbua. Sumber foto: Dok. Pribadi.

Selepas jalan rusak tadi, satu-satunya jalur utama di dusun Sangbua yang saya lalui memang telah dirabat beton. Jalannya hanya muat untuk satu mobil. Lalu bagaimana jika tiba-tiba berpapasan dengan mobil lain. Sepanjang jalan, tidak ada tempat untuk berpapasan. 

Pembangunan akses jalan ini sangat vital bagi masyarakat Sangbua. Terutama dalam menjual komoditi unggulan mereka, yakni sayuran dan kopi serta akses pendidikan untuk anak-anak. Di Sangbua tidak ada sekolah. Anak-anak harus turun ke Buntu, atau Kaduaja untuk bersekolah. Khususnya untuk pendidikan dasar. Satu SMK negeri terdekat hanya ada di Buntu. Sementara MAN dan MTS ada di Kaduaja. 

Kembali bapak yang membantu saya tadi. Ia mengikuti saya dari belakang dan menunjukkan belokan ke kiri menuju kebun pemahat lesung batu. Jalanannya masih tanah, sempit dan becek. Mobil tak bisa masuk dan tidak ada tempat untuk putar arah kendaraan. Sang bapak mengusulkan agar saya sekalian jalan-jalan ke puncak Sangbua. Di atas sudah ada beberapa gazebo yang dibuat masyarakat setempat. Tidak dipungut biaya untuk berkunjung karena belum ada pengelola di sana. 

Foto di Puncak Sangbua dengan salah satu sisi perkampungan Sangbua di belakang saya. Tampak jalur rabat beton untuk motor. Sumber foto: Dok. Pribadi.
Foto di Puncak Sangbua dengan salah satu sisi perkampungan Sangbua di belakang saya. Tampak jalur rabat beton untuk motor. Sumber foto: Dok. Pribadi.

Pukul 13.30 saya tiba di puncak Sangbua. Tapi saya tidak bisa ke gazebo yang dimaksud sang bapak tadi karena kondisi hujan rintik-rintik dan saya membawa si kecil. Saya sempatkan mengambil beberapa foto dan bergegas putar arah menuju ke pemahat lesung batu. 

Mobil hanya sampai di titik ini di puncak Sangbua. Selebihnya hanya jalur motor. Sumber Foto: Dok. Pribadi. 
Mobil hanya sampai di titik ini di puncak Sangbua. Selebihnya hanya jalur motor. Sumber Foto: Dok. Pribadi. 

Saya masih penasaran untuk menjelajah Sangbua lebih jauh lagi. Saya berencana akan kembali lagi suatu hari nanti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun