Selepas jalan rusak tadi, satu-satunya jalur utama di dusun Sangbua yang saya lalui memang telah dirabat beton. Jalannya hanya muat untuk satu mobil. Lalu bagaimana jika tiba-tiba berpapasan dengan mobil lain. Sepanjang jalan, tidak ada tempat untuk berpapasan.Â
Pembangunan akses jalan ini sangat vital bagi masyarakat Sangbua. Terutama dalam menjual komoditi unggulan mereka, yakni sayuran dan kopi serta akses pendidikan untuk anak-anak. Di Sangbua tidak ada sekolah. Anak-anak harus turun ke Buntu, atau Kaduaja untuk bersekolah. Khususnya untuk pendidikan dasar. Satu SMK negeri terdekat hanya ada di Buntu. Sementara MAN dan MTS ada di Kaduaja.Â
Kembali bapak yang membantu saya tadi. Ia mengikuti saya dari belakang dan menunjukkan belokan ke kiri menuju kebun pemahat lesung batu. Jalanannya masih tanah, sempit dan becek. Mobil tak bisa masuk dan tidak ada tempat untuk putar arah kendaraan. Sang bapak mengusulkan agar saya sekalian jalan-jalan ke puncak Sangbua. Di atas sudah ada beberapa gazebo yang dibuat masyarakat setempat. Tidak dipungut biaya untuk berkunjung karena belum ada pengelola di sana.Â
Pukul 13.30 saya tiba di puncak Sangbua. Tapi saya tidak bisa ke gazebo yang dimaksud sang bapak tadi karena kondisi hujan rintik-rintik dan saya membawa si kecil. Saya sempatkan mengambil beberapa foto dan bergegas putar arah menuju ke pemahat lesung batu.Â
Saya masih penasaran untuk menjelajah Sangbua lebih jauh lagi. Saya berencana akan kembali lagi suatu hari nanti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H