Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan ke Sangbua di Lembang Kaduaja, Gandangbatu Sillanan, Tana Toraja

1 Februari 2023   22:05 Diperbarui: 1 Februari 2023   22:22 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdua dengan anak, menyusuri jalan ke Sangbua. Sumber Foto: Dok. Pribadi.

Perjalanan saya lanjutkan. Kondisi jalan masih jalanan berbatu dan sedikit licin ditambah hujan rintik-rintik mulai turun. Selanjuntya, hanya ada dua anak anjing mungil yang saya temui di tengah jalan yang bebatuannya lumayan menguji adrenalin. Ah, terpaksa mobil saya hentikan sejenak dan menghalau anjing-anjing lucu tersebut. Jalannya lebih lambat dari pengantin, melenggak-lenggok santai di tengah jalan dan tak  menghiraukan teriakan saya. 

Satu kilometer kemudian, dengan kondisi yang mirip sebelumnya, menanjak, bekas patahan rabat beton yang terjal, mobil meraung tak bisa lewat. Lokasinya di Pantawanan, tepat di pertigaan menuju Sangbua-Pa'buaran.  Di depan ada papan nama Gereja Kibaid Jemaat Panawanan, dan beberap rumah penduduk. Tapi tak ada seorang pun yang nampak. 

Ah..elus dada lagi dan anak kembali menangis mendengar raungan mesin mobil. Dengan sedikit berbasah-basahan bersama hujan rintik-rintik, saya mencoba mengumpulkan bebatuan dan menambal jalanan yang becek oleh timbunan tanah yang berlumpur. Sekitar lima kali saya mencoba mundur dan maju hingga akhirnya berhasil. Jangan ditanya lagi bagaimana dengan keringat. Mengalahkan butiran jagung. 

Baru lewat seratus meter di jalur menuju dusun Sangbua, keringat masih mengalir dan jantung masih lari sprint, mobil terhenti lagi. Parahnya, pas di tikungan tajam360 derajat, sedikit menanjak, kondisi jalan berupa patahan rabat beton yang berpasir dengan campuran batuan lepas. Yang membuat jantung tak bisa tenang, di bagian kiri, adalah jurang dengan sasaran rumah di bawahnya andaikan mobil terpeleset satu meter saja. Puluhan kali saya mencoba, tapi gagal. Hujan mulai turun dan saya pun memilih membiarkan mobil terparkir di tengah jalan sambil berharap ada orang yang lewat. 

Jam tangan menunjukkan pukul 12.35. Saya mulai ragu, tak bisa masuk mengajar sore. Langit makin hitam dan kabur mulai menutupi wilayah Pantawanan. Untungnya co-driverku memilih bermain dan sedikit menenangkan situasi menunggu dalam mobil. 

Menjelang pukul 13.00, seorang pemuda muncul dari atas. Ia mencoba membantu, tapi mobil masih gagal melaju. Akhirnya saya persilahkan ia melanjutkan perjalanannya. Harapan saya, cuma satu, hujan sangat deras akan turun agar air mengalir sehingga ban lebih mencengkram untuk lewat. Tapi, sang pemuda berkata, hujan akan selalu dalam begitu, hujan ringan saja dan lama baru berhenti. Ya...mau mundur, resiko terjun ke jurang, mau maju, mobil tuaku enggan melaju. 

Pukul 13.05, muncullah seorang bapak dari arah belakang. Ia membonceng dua putrinya yang berseragam sekolah. Ia pulang menjemput anaknya dari salah satu sekolah di Buntu. Bisa saya bayangkan, jarak yang harus ditempuh anak-anak dari Sangbua untuk bersekolah. Untungnya, jalanan sudah bisa dilalui kendaraan dan ada motor. 

Beliau langsung menawarkan bantuan dan mencoba memandu saya agar bisa melewati tikungan tajam dan terjal itu. Sementara kedua anaknya ia minta untuk berjalan kaki. Empat kali percobaan pertama mundur sedikit dan maju, masih gagal. Sedikit putus asa, saya berujar, semoga segera hujan lebat. 

Sang bapak masih setia menemani saya. Ia berujar, bahwa titik ini adalah titik terakhir yang rusak. Jalan ke Sangbua, sudah mulus dirabat beton, walaupun kecil dan mobil hanya sampai di puncak Sangbua, selanjutnya hanya motor yang bisa lewat.

Sambil bercerita tentang kehidupan masyarakat di Sangbua, pemahat lesung batu yang akan saya temui dan obrolan asik akan Pemilu 2024, kami menimbun jalur berpasir dengan bebatuan yang ada. Sedikit ekstrim, beliau mengusulkan agar saya berani menikung kanan tajam, ban sebelah kiri sedikit mengenai pohon kopi, dengan gas agak tinggi. Saya mencoba dan berhasil. Saya menengok spion, beliau melambaikan tangan agar saya terus mendaki. 

Perjalanan saya lanjutkan. Pemandangan dari lereng Sangbua begitu menakjubkan. Walaupun langit mendung dan sedikit rintik-rintik, jauh di sebelah kiri saya, tampak wilayah kabupaten Enrekang. Landscape yang luar biasa dati Sangbua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun