Mohon tunggu...
Oktoviana BS
Oktoviana BS Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai dan Mahasiswa

"Jangan pernah menyepelekan hal kecil, karena dari hal kecil akan menciptakan sesuatu yang besar."

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengukur Ketahanan Asuransi Syariah

10 Juni 2020   04:17 Diperbarui: 10 Juni 2020   04:19 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus pandemi Virus Corona ini lambat laun menghapus ingatan kita akan penyelesaian kasus gagal bayarnya PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merupakan puncak pertaruhan kredibilitas institusi asuransi di Indonesia. 

Kejadian tersebut tidak hanya menyeret sejumlah nama petinggi organisasi ke meja hijau, tetapi juga sempat menyeret beberapa nama petinggi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator, karena dianggap kendor dalam melaksanakan pengawasan terhadap industri asuransi yang dahulunya merupakan ranah pengawasan Bapepam-LK. 

Dalam prosesnya, regulator menyangkal adanya unsur kelonggaran dalam proses pengawasan asuransi plat merah tersebut dan mengakui telah melakukan langkah-langkah penyelamatan yang sesuai dengan koridor sebagaimana peraturan yang berlaku.

Terdapat dua indikator penting yang digunakan regulator dalam mengukur ketahanan asuransi. Pertama, menggunakan indikator tingkat kesehatan berupa instrumen finansial yang dapat diukur dengan beberapa rasio, namun rasio utama untuk mengukur kesehatan finansial perusahaan asuransi yaitu Rasio Solvabilitas (Risk Based Capital/RBC) adalah metode pengukuran dengan membandingkan batas tingkat solvabilitas perusahaan asuransi dari Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR). 

Kedua, regulator dapat menilai ketahanan asuransi melalui penilaian penerapan tata kelola yang baik oleh manajemen (good corporate governance). Tingkat Solvabilitas adalah selisih antara jumlah Aset Yang Diperkenankan dikurangi dengan jumlah Liabilitas, sedangkan MMBR adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan Aset dan Liabilitas. Batas minimum perusahaan asuransi konvensional dikatakan sehat yaitu pada saat perbandingan Tingkat Solvabilitas paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari nilai MMBR.

Pada perusahaan asuransi syariah sesuai POJK No.72/POJK.05/2016 terdapat beberapa rasio untuk mengukur kesehatan keuangan, namun rasio utamanya adalah Tingkat Solvabilitas, yang terbagi menjadi (1) Dana Tabarru' dan Dana Tanahud, (2) Dana Perusahaan. 

Dana Tabarru' dan Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis atau peserta, sedangkan Dana Perusahaan adalah kumpulan dana yang dikelola Perusahaan selain Dana Tabarru', Dana Tanahud dan Dana Investasi Peserta. 

Dana Tabarru' dan Dana Tanahud Minimum Berbasis Risiko (DTMBR) adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan Aset dan Liabilitas dari Dana Tabarru' dan Dana Tanahud.

Tingkat Solvabilitas dari Dana Tabarru dan Dana Tanahud paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari DTMBR, sedangkan Tingkat Solvabilitas dari Dana Perusahaan sesuai ketentuan diatur paling rendah sebesar 100% (seratus persen) dari MMBR dengan mempertimbangkan skenario perhitungan profil risiko perusahaan (stress test). Pemenuhan ketentuan ini paling lambat dilakukan perusahaan asuransi syariah paling lambat 31 Desember tahun lalu.

Selain itu, ternyata regulator pun mengatur mengenai penempatan dana pada satu pihak tidak melebihi 20% (dua puluh persen) kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 

Apabila investasi dilakukan pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri, perusahaan wajib menjaga agar jumlah seluruh investasi pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri dimaksud tidak melebihi 20% (dua puluh persen). 

Hal ini tentunya dapat mencegah efek sistemik apabila terjadi gagal bayar pada perusahaan dimana dana ditempatkan, diperbankan dikenal dengan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK).

Regulator menuntut setiap perusahaan asuransi untuk menjaga tingkat solvabilitas ini sekaligus mengukur profil risikonya, sehingga dapat dikatakan apabila suatu perusahaan asuransi semakin terpapar banyak risiko, maka semakin tinggi pula persentase RBC yang diperlukan untuk memitigasi risiko tersebut. Selain itu, melalui RBC regulator dapat memantau tingkat kesehatan, sekaligus menjadi sinyal untuk melihat keberlangsungan bisnis perusahaan asuransi (sustainability).

Pengukuran profitabilitas menggunakan ROA yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan asuransi dalam menghasilkan profit secara komprehensif. Dengan kata lain, ROA adalah suatu variabel untuk melihat kemampuan aset perusahaan asuransi untuk dapat menghasilkan laba bersih. Dalam pengukurannya terdapat faktor-faktor yang dapat berdampak secara langsung terhadap fluktuasi ROA, baik yang bersifat internal perusahaan maupun eksternal perusahaan.

Faktor internal perusahaan misalnya peningkatan modal, peningkatan bisnis dan operasional (size) perusahaan. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan jumlah ukuran perusahaan berupa aset perlu diimbangi dengan diversifikasi portofolio investasi yang tepat agar dapat menghasilkan pengembalian (return) yang optimal tapi tetap berada dalam jangkar koridor regulator. 

Peningkatan layanan kepada nasabah sebagai salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi untuk profitablitas perusahaan agar mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari pelanggan, karena masih banyaknya potensi pasar yang belum tersentuh asuransi. 

Usia berdirinya perusahaan asuransi (age) juga sebagai salah satu faktor internal yang dapat menjadi keunggulan baik dinilai dari keragaman pengalaman, langkah-langkah strategis yang dilakukan dan historis reputasi yang menjadi pertimbangan bagi nasabah untuk tetap loyal terhadap suatu perusahaan asuransi.

Selain faktor internal, yang dapat mempengaruhi fluktuasi profitabilitas perusahaan juga dari luar perusahaan yaitu dapat berupa kondisi dan fenomena ekonomi serta adanya persaingan bisnis antar perusahaan asuransi.

Selain indikator finansial, yang mempengaruhi tingkat kesehatan perusahaan asuransi berupa indikator penilaian penerapan tata kelola yang baik oleh manajemen perusahaan. 

Penyusunan strategi bisnis, baik dari sisi internal maupun eksternal perusahaan sehingga mampu berkompetisi dengan sehat secara nasional maupun global serta mampu menjaga keberlangsungan bisnis operasionalnya merupakan salah satu area penilaian regulator.

Berdasarkan POJK No.73 tahun 2016, terdapat kewajiban perusahaan asuransi untuk membentuk pilar-pilar pengawasan internal perusahaan yang berfungsi sebagai media supervisi bagi manajemen dan alat pengawasan bagi dewan komisaris yaitu berupa pembentukan komite-komite internal serta menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

Pertama, komite investasi yang bertugas membantu Direksi dalam merumuskan kebijakan investasi dan mengawasi pelaksanaan kebijakan investasi yang telah diterapkan. Kedua, komite pengembangan produk asuransi yang bertugas untuk menyusun rencana strategis pengembangan dan pemasaran produk asuransi, mengevaluasi kesesuaian produk dan kinerja asuransi serta mengusulkan perubahan atau penghentian pemasarannya. 

Ketiga dan keempat masing-masing adalah komite audit dan komite pemantau risiko yang kedua posisi tersebut harus dimiliki pula oleh industri perbankan yaitu berfungsi sebagai mitra strategis dewan komisaris untuk memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan memantau pelaksanaan manajemen risiko dalam operasional bisnis perusahaan asuransi.

Selain itu, dalam perusahaan asuransi syariah wajib mengangkat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu satu orang atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). 

Pelaksanaan pengawasan anggota DPS ini mencakup kegiatan dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban, baik dana tabarru' dan dana perusahaann maupun dana investasi peserta; produk asuransi syariah yang dipasarkan dan praktik pemasaran produk asuransi syariah. Pelaksanaan pengawasan ini tentunya memperoleh bantuan dari perangkat komite yang dibentuk oleh perusahaan.

Dalam peraturan tersebut juga diatur mengenai kewajiban setiap perusahaan untuk menyusun laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik pada setiap akhir tahun buku yang mencakup pada aspek transparansi penerapan tata kelola perusahaan yang baik, penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan yang dilakukan, dan menyusun rencana tindak (action plan) yang perlu dilakukan ke depan, termasuk didalamnya adalah laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik. 

Laporan tersebut paling lambat diterima oleh OJK pada bulan Februari setiap tahunnya, sehingga proses pengawasan secara komprehensif baik dari sisi ketahanan finansial maupun manajerial menjadi langkah preventif yang dilakukan oleh otoritas.

Merujuk pada data OJK posisi Desember 2019, tercatat 62 perusahaan asuransi syariah yang berizin di Indonesia yang terdiri dari 30 perusahaan asuransi jiwa (23 diantaranya berbentuk Unit Usaha Syariah), 29 perusahaan asuransi umum (24 diantaranya berbentuk Unit Usaha Syariah) dan tiga perusahaan reasuransi (dua diantaranya berbentuk Unit Usaha Syariah). Berdasarkan informasi tersebut, mencerminkan masih banyaknya alternatif perusahaan asuransi di Indonesia yang mampu melayani kebutuhan masyarakat dalam melakukan asuransi.

Dengan mengetahui ketahanan tersebut, diharapkan kejadian kasus gagal bayar pada asuransi plat merah tersebut tidak sampai menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada industri asuransi secara keseluruhan di Indonesia. 

Proses klarifikasi dan verifikasi sebelum membeli premi seperti melakukan pengecekkan terhadap rekam jejak (track record) perusahaan asuransi, memilih perusahaan asuransi yang memiliki reputasi baik, melakukan perbandingan biaya premi yang terjangkau dan lamanya berdiri perusahaan asuransi dan pengecekan perusahaan asuransi tersebut dalam daftar di OJK menjadi penting dilakukan. Hal-hal tersebut perlu dilakukan oleh calon nasabah asuransi agar merasa aman dan nyaman dalam melakukan "pengalihan pengelolaan" dana masa depannya dalam bentuk polis asuransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun