Lingko dan peran tu’a teno menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan suatu kampung. Hal ini dilukiskan dalam beberapa peran tu’a teno yakni: mencatat nama-nama anggota yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat, membagi kebun dan menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan langsung dengan kebun.
Lingko dalam beberapa dekade terakhir seringkali diwarnai oleh berbagai persolan di Manggarai. Persoalan tersebut sudah ada sejak tahun 1935-1993 dengan rentan usia konflik yang cukup lama berkisar antara 30-60 tahun (Bdk. Deno Kamelus, dkk, 2001:3-4). Konflik yang berkepanjangan tersebut akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat.
Peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendangmerupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks pemertahanan mbaru gendang.Peran yang dilakoni oleh masing-masing tu’a adat dalam mbaru gendangmerupakan indikasi yang menggambarkan sejauh mana tu’a-tu’a adat dalam mempertahankan fungsi mbaru gendang.
Jika di kampung halaman seorang anak mengenal berbagai peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendang maka ia sedang mempelajari tentang budaya Manggarai. Akses pendidikan tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan tu’a-tu’a adat sebagai sumber belajar utama (guru) sedangkan anak memposisikan diri sebagai murid.
Pandangan masyarakat Manggarai tu’a-tu’a adat merupakan symbol pewaris dan anak merupakan penerus ahli waris. Hal ini didasari oleh sebuah pepatah kuno Manggarai (go’ t)yakni “muntung gurung pu’u-manga wungkut nipu curup, wakak b tong asa-manga wak  nipu ta (ketika para tu’a-tu’a adat sudah meninggal, diharapkan anak/generasi muda yang memiliki tanggung jawab dalam memelihara serta meneruskan kebudayaan).
Pendidikan tentang budaya Manggarai dapat diakses melalui menikmati berbagai pengalaman langsung yang dilaksanakan oleh para tu’a-tu’a adat di mbaru gendang maupun di luar kampung.
Bentuk pendidikan budaya tersebut diakses melalui berbagai kesempatan lonto l ok, caca mbolot, sanda, mbata, hambor, penti dan t ing hang. Aktivitas tersebut dapat menunjang generasi muda atau anak dalam menimba pengetahuan dari generasi tua.Â
Segala bentuk tuturan, petuah, nasihat maupun sikap yang dalam berbagai peran yang dijalankan oleh masing-masing tua, secara berlahan-lahan anak/generasi muda memahami putusannya, mengerti filosofinya, mengetahui sejarah keturunan dan posisi masing-masing dalam lingkaran persekutuan secara keseluruhan.Â
Dengan mengetahui posisi masing-masing, menumbuhkan rasa saling mengharagai dalam konteks struktur kekerabatan, terbina keharmonisan vertikal dan horizontal serta terpeliharanya rasa solidaritas sesama warga persekutuan, ada pertobatan silahturahmi dan nilai positif lainnya. Kendatipun demikian dalam kenyataannya masih banyak lembaga adat di Manggarai yang kurang menyatu dengan perannya.Â
Mbaru gendang yang sebelumnya dihuni oleh tu’a-tu’a adat dan dapat dijadikan sebagai ruang publik warga kampung dalam mengakses pendidikan tentang nilai-nilaibudaya Manggarai kepada anak, hal itu jarang sekali dijumpai.
Dewasa ini, anak atau generasi muda Manggarai sudah mengenal pendidikan tentang budaya Manggarai melalui lembaga formaldengan lahirnya pembelajaran muatan lokal budaya daerah pada jenjang SD dan SMP.Â