"Bisa dilepaskan kaosnya, Pak?"
Aku memandangainya sekilas. "Maksudnya menyingkap atau melepas?" aku menyeringai balik bertanya atas permintaan itu.
Suster Yuni menyadari perintahnya yang salah. "Maksud saya kaos Bapak disingkap agar dadanya terlihat, saya mau melakukan EKG" ulangnya dengan ucapan yang jelas dengan berusaha tetap ramah. Ia tak berani memandangku.
Akupun menyingkapkan kaos tidur yang kupakai. Dadaku yang bidang berbulu halus pun terlihat. Aku singkap kaos itu sampai mendekati leher agar ia leluasa meletakkan dengan tepat elektroda-elektroda penghubung pada mesin EKG-nya. "Jangan salah letak. Nanti grafiknya jadi bentuk hati, Mbak!" aku mengingatkan sambil menggodanya. Sekilas aku memandang ke arahnya sambil tersenyum.
Suster Yuni tak menjawab, ia hanya mengerling saja ke arahku. Segera dan cekatan ia menjepitkan elektroda penghubung itu pada ujung betis dekat kaki kiri dan kanan setelah mengolekan gel di tempat itu di kedua kakiku. Lalu, ia pun segera meraba dadaku sebelah kiri dengan lembut. Perlahan jari jemarinya mencari letak tulang rusak dadaku untuk tempat elektroda, tak lupa ia mengoleskan gel agar elektroda EKG bisa terpasang kuat di dadaku.
"Jangan menyentuh logam penghalang bed ya Mas...eh, Pak!" perintahnya lagi. Akupun menjauhkan kedua kaki dan tanganku dari logam penghalang bed.
Suster Yuni setelah selesai memasang semua elektroda di dada bagian kiri dan kedua kakiku, ia lalu menghidupkan mesin EKG. Beberapa kali memencet-mencet tombol, keluarlah kertas dari mesin EKG itu.
Aku diam saja, tak mau lagi mengajaknya bicara agar ia tak grogi dan cepat menyelesaikan tugasnya.
"Bagaimana dengan detak jantungku, Mbak Suster?" tanyaku saat ia memperhatikan grafik itu. Suster Yuni berbalik menghadap ke arahku berbaring, namun ia tak menjawab sepatah pun. Sunyi beberapa detik.
"Tuch khan? Ada gambar hatinyakah?" tanyaku menggodanya memecahkan sunyi. Ia memandangku sebentar. Ia tampak kikuk dan jengah. "Maaf Pak,...eh, Mas, ada yang salah letak elektrodanya," jawabnya terbata sambil memandangi dadaku yang bidang dan berbulu halus itu. Matanya mencari-cari kira-kira elektroda mana yang salah letak. Tak berapa lama ia menukar letak dua elektroda yang berdekatan.
"Sudah benar kali ini? Salah lagi nggak apa kok!" Aku berseloroh menggodanya. Ia diam saja namun aku tahu dia tersenyum manis ke arahku. Ia kembali membalikkan badannya ke arah mesin EKG dan keluarlah kertas bergambar grafik serupa lembah dan gunung dengan kerenggangan dan ketinggian yang berbeda.