Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pertempuran Melawan Ahok dan Jokowi

7 Oktober 2017   07:28 Diperbarui: 7 Oktober 2017   07:43 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama tak menulis politik menyebabkan otak bebal. Demikian memang yang kurasakan, sebab menjadi jarang membaca dan mendengar berita, apalagi kasak-kusuk pasang mata dan telinga mencari informasi dari sumber utama serta mendiskusikannya. Benak tak terlatih lagi menangkap fakta di balik berita. Kegiatan menganalisa berbagai peristiwa dan pernyataan politik yang diungkap media massa online, cetak dan audio visual oleh politikus dan pengamatnya jarang diinteraksikan digatuk-gatukkan agar cocok, padahal pilpres 2019 tampaknya bakal ramai.

Hal ini tak bisa lama-lama kubiarkan diri sendiri dalam situasi acuh terhadap lingkungan politik, karena pilihan presiden merupakan salah satu hal yang terpenting dalam hidup. Memilih pemimpin negeri berarti memilih panutan hidup, memilih orang yang mengendalikan dan mengatur seluruh hajat hidup bagi rakyatnya. Ini bukan hanya hak, tapi tanggung jawab sebagai seorang warga negara. Jika tak peduli pada urusan itu sama dengan tak peduli pada urusan diri sendiri.

Jadi, aku mesti bersiap-siap sesuai kemampuanku untuk terjun kembali dalam arena politik, tak bisa fisik tentunya, karena modal dan keinginanku bukan dalam bentuk itu. Keterlibatanku melalui tulisan saja. Intinya aku mempersiapkan diri untuk kembali menulis politik. Menulis kembali di blog saja.

Aku bukan pengamat seperti halnya mereka-mereka yang sering dan selalu tampil di TV atau bahkan di Youtube, aku tak mampu seperti mereka. Aku juga bukan pengamat penulis yang tulisannya sering dan selalu dimuat di media mainstream. Aku hanya ingin menulis sesuai daya nalarku saja berdasarkan fakta yang terbaca, terlihat, terdengar dan terasa oleh panca indera ini. Yang jelas buatku menulis politik adalah salah satu tanggung jawab yang mesti dilakukan. Agar siapa saja tahu apa yang kumau, kemauan seorang warga negara biasa agar negerinya menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Hawa Pilpres 2019 mulai terasa hangat. Sinyal-sinyalnya mulai terasa dinyalakan, genderang mulai dipersiapkan untuk ditabuh, tokoh-tokoh alternatif bakal calon presiden dan wakil presiden mulai bermunculan. Mulai dielus-elus, diberi panggung. Intinya digadang-gadang dan diperkenalkan agar rakyat tahu bahwa si A, B, C atau D adalah pantas memimpin negeri ini dengan menduduki kursi presiden. Tak hanya tokoh baru yang bermunculkan, namun tokoh tua dan lama yang masih juga dimunculkan, rupanya masih penasaran dengan kursi presiden yang tak bisa diraihnya.

Pada awalnya aku berharap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ikut ambil bagian pertempuran pilihan presiden tahun 2019, namun rupanya dia masih disimpan Tuhan di penjara Mako Brimob Kelapa Dua. Bagaimanapun Ahok adalah tokoh yang pantas untuk menjadi pemimpin di negeri ini,

Ahok adalah sedikit di antara tokoh beragama Kristen yang diterima oleh sebagian warga negara yang beragama Islam. Ia diterima karena menurut mereka; Ahok adalah politikus yang berprestasi dan berkarakter tidak korupsi, lurus, baik dan jujur, selain gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.

Banyak yang berpendapat bahwa kejatuhan Ahok sebab isu sara yang ditiupkan oleh rival politiknya. Ahok yang fenomenal baru jatuh setelah dilawan dengan demo oleh lawan politiknya agar dipenjarakan karena dianggap menistakan agama Islam, ia pun harus didoakan secara khusus agar tak terpilih kembali memimpin DKI Jakarta sebagai gubernur.

Baru kali ini setelah era reformasi untuk urusan menjatuhkan seorang lawan politik, digerakkan ormas Islam yang "beraliran" macam-macam, berjumlah jutaan, berjilid-jilid secara masif, sistemtis dan terstruktur bersatu. Sehebat dan setinggi apapun pertahanan Ahok jika dikeroyok dengan cara demikian tentu saja ia jatuh dan kalah. Ahok pun akhirnya meringkuk di penjara dua tahun.

Aku berpikir kekalahan dan kejatuhan Ahok karena doa. Ia didoakan secara khusyuk dan berkseinambungan oleh lawan politiknya agar jatuh, kalah dan dipenjara. Tentu dan pasti Tuhan mendengar dan mengabulkan doa-doa itu. Bukankah Tuhan Maha Pendengar dan mengabulkan doa-doa? Ah, seandainya isi doa itu bukan soal kejatuhan dan kekalahan Ahok, tapi isi doa itu soal kepindahan keimanan Ahok seperti yang pernah disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra, tentu berbeda akhir pertempurannya.

Setelah kejatuhan dan kekalahan Ahok fakta terlihat justru lawan politiknya tercerai berai. Ahok kalah namun justru sebagian besar lawan politiknya tak bisa menikmati kemenangannya dengan sempurna, di antara mereka ada yang lari karena kasus yang menimpa pribadinya, ada yang diproses hukum karea tuduhan makar, bahkan dipenjara. Peribahasa "menang jadi arang kalah jadi abu" tampaknya berlaku disini, tak ada yang diuntungkan dalam pertempuran ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun