Indonesia darurat sampah. Demikian hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan yang dipublikasikan di website di www.sciencemag.org 12 Februari 2015 yang diunduh dari laman www.iswa.orgpada 20 Januari 2016. Di laman itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka.
Dari total 275 juta ton per tahun produksi sampah plastik dunia, di urutan itu Indonesia menyumbang 3,2 ton per tahun disamping produksi sampah lainnya sekitar 64,000.000 ton per tahun (Greeneration Indonesia).Dalam catatan Trashbag Community, sampah plastik mendominasi dengan persentase 36% atau sekitar 769 kilogram, disusul sampah botol plastik 23% atau mencapai 491 kilogram dan sampah puntung rokok 10% atau berkisar 213 kilogram.
Sampah memang menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem. Oleh karena itu, perlu teknologi tepat guna agar sampah bisa ditanggulangi.
Sebagai seorang praktisi di bidang energi terbarukan, saya pun tergerak untuk turut berpartisipasi membantu bagaimana cara menanggulangi dan memanfaatkan sampah di Indonesia.
Sejak Agustus 2016 selama kurang lebih enam bulan saya pun belajar soal sampah dan penanggulangannya dari Tadashi Nakamura warga negara Jepang yang menjadi partner saya sejak 2007. Ia adalah satu diantara tiga pemegang paten teknologi hidrotermal. Dua lainnya adalah Kentaro Nagasawa dan Mamuru Kimura. Ia memberi kuliah soal sampah dan teknologinya kepada saya secara pribadi saat kunjungannya di Indonesia.
Tak hanya memberi kuliah tatap muka, namun ia juga membawa saya ke pengolahan sampah berteknologi hidrotermal yang telah didirikan di di Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten.
Teknologi hidrotermal diakui tak hanya organisasi Pemerintah Jepang JETRO (Japan External Trade Organization), namun juga badan dunia PBB yang membidangi pengembangan industri yaitu UNIDO (United Nation of Industrial Development Organization). Keduanya mengakui teknologi hidrotermal ini sebagai teknologi yang relatif murah, hemat waktu dan ramah lingkungan.Â
Bahkan, kedua badan dunia yang kondang itu merekomendasikan pengaplikasian teknologi tersebut sebagai teknologi pengolah sampah di negara-negara yang bermasalah dengan sampah. Keduanya memasukkan teknologi hidrotermal ini di website mereka. Teknologi itu telah diterapkan dan diujicobakan di Jepang, Tiongkok, dan Arab Saudi untuk berbagai macam kebutuhan dalam konteks Reduce-Reuse-Recycle yang ramah lingkungan.
"Indikator yang kami gunakan adalah ikan yang hidup dalam air itu masih hidup sehat dan bisa dikonsumsi," lanjutnya.