Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengubah Masalah Sampah Jadi Berkah

17 Agustus 2017   19:49 Diperbarui: 18 Agustus 2017   14:04 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesi kuliah saat di Pengolahan sampah Di Tangerang (Dokumentasi Pribadi)

Indonesia darurat sampah. Demikian hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan yang dipublikasikan di website di www.sciencemag.org 12 Februari 2015 yang diunduh dari laman www.iswa.orgpada 20 Januari 2016. Di laman itu menyebutkan bahwa Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka.

Dari total 275 juta ton per tahun produksi sampah plastik dunia, di urutan itu Indonesia menyumbang 3,2 ton per tahun disamping produksi sampah lainnya sekitar 64,000.000 ton per tahun (Greeneration Indonesia).Dalam catatan Trashbag Community, sampah plastik mendominasi dengan persentase 36% atau sekitar 769 kilogram, disusul sampah botol plastik 23% atau mencapai 491 kilogram dan sampah puntung rokok 10% atau berkisar 213 kilogram.

Sampah memang menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem. Oleh karena itu, perlu teknologi tepat guna agar sampah bisa ditanggulangi.

Sebagai seorang praktisi di bidang energi terbarukan, saya pun tergerak untuk turut berpartisipasi membantu bagaimana cara menanggulangi dan memanfaatkan sampah di Indonesia.

Sejak Agustus 2016 selama kurang lebih enam bulan saya pun belajar soal sampah dan penanggulangannya dari Tadashi Nakamura warga negara Jepang yang menjadi partner saya sejak 2007. Ia adalah satu diantara tiga pemegang paten teknologi hidrotermal. Dua lainnya adalah Kentaro Nagasawa dan Mamuru Kimura. Ia memberi kuliah soal sampah dan teknologinya kepada saya secara pribadi saat kunjungannya di Indonesia.

Foto Bersama Tadashi Nakamura setelah diskusi soal teknologi hidrotermal. Tampak Kompasianer Shelly Lansritan turut dalam sessi foto ini di Hotel Sultan Jakarta (Dokumentasi Pribadi)
Foto Bersama Tadashi Nakamura setelah diskusi soal teknologi hidrotermal. Tampak Kompasianer Shelly Lansritan turut dalam sessi foto ini di Hotel Sultan Jakarta (Dokumentasi Pribadi)
Paten teknologi hidrotermal sudah diregistrasi di Jepang, Tiongkok dan dalam proses di Indonesia. Semenjak sepuluh tahun teknologi itu ditemukan sampai sekarang tak kurang dari 30 (tiga puluh) tempat yang mengaplikasikan teknologi tersebut di seluruh dunia untuk berbagai keperluan pengolahan berbagai jenis sampah.

Tak hanya memberi kuliah tatap muka, namun ia juga membawa saya ke pengolahan sampah berteknologi hidrotermal yang telah didirikan di di Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten.

Teknologi hidrotermal diakui tak hanya organisasi Pemerintah Jepang JETRO (Japan External Trade Organization), namun juga badan dunia PBB yang membidangi pengembangan industri yaitu UNIDO (United Nation of Industrial Development Organization). Keduanya mengakui teknologi hidrotermal ini sebagai teknologi yang relatif murah, hemat waktu dan ramah lingkungan. 

Bahkan, kedua badan dunia yang kondang itu merekomendasikan pengaplikasian teknologi tersebut sebagai teknologi pengolah sampah di negara-negara yang bermasalah dengan sampah. Keduanya memasukkan teknologi hidrotermal ini di website mereka. Teknologi itu telah diterapkan dan diujicobakan di Jepang, Tiongkok, dan Arab Saudi untuk berbagai macam kebutuhan dalam konteks Reduce-Reuse-Recycle yang ramah lingkungan.

Sesi kuliah saat di Pengolahan sampah Di Tangerang (Dokumentasi Pribadi)
Sesi kuliah saat di Pengolahan sampah Di Tangerang (Dokumentasi Pribadi)
"Tak seperti teknologi incinerator, aplikasi teknologi hidrotermal ini tidak menghasilkan dioxin, senyawa polutan berbau yang berbahaya yang dihasilkan jika sampah dibakar bercampur dengan plastik. Disamping itu, air limbah atau lindi tak terjadi, bahkan kami menjamin bahwa air setelah proses akan sesuai spesifikasi lingkungan," Nakamura menerangkan.

"Indikator yang kami gunakan adalah ikan yang hidup dalam air itu masih hidup sehat dan bisa dikonsumsi," lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun