Teknologi hidrotermal memproses seluruh sampah yang ada sehingga sampah tersebut habis pada hari yang sama. Maksudnya, apabila sehari suatu kota menghasilkan sampah 300 ton, maka sejumlah itu akan dihabiskan dalam hari itu juga. Tentu saja tidak seperti penggunaan biogas yang tidak mengurangi fisik sampah.
Prinsip kerja teknologi hidrotermal adalah memanfaatkan suhu dan tekanan tinggi dalam suatu bio reaktor, sehingga senyawa sampah terurai menjadi unsur-unsurnya yang terkecil. Hasil proses bioreaktor berbentuk lumpur yang disebut material biomass. Material biomass ini tidak berbau busuk. Malah cenderung berbau seperti aroma kopi.Â
Kemudian lumpur material biomass itu dikeringkan di greenhouse atau bisa juga menggunakan dryer. Lumpur material biomass yang kering bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar atau bisa dicetak sesuai kebutuhan atau selera pasar. Bahan bakar material biomass itu seperti batu bara (coal-alike)dan mempunyai kalori berkisar 3.500 -- 4.500 Kcal/Kg.
Sebagai bahan bakar, material biomass/output yang dihasilkan adalah sekitar 35% dari keseluruhan total input sampah yang diproses. Dari sekitar 35% itu, sekitar 70%nya sebagai bahan bakar boiler lainnya dan sisanya sebagai bahan bakar untuk menggerakkan pengolah sampah itu sendiri.
Fabrikasi untuk komponen pengolah sampah dengan teknologi hidrotermal bisa dilakukan di Indonesia dengan bahan dan alat yang ada di Indonesia, tak perlu membuang banyak devisa untuk impor bahan dan alat. Tak perlu juga menggunakan tenaga teknis dari luar negeri. Jadi, teknologi hidrotermal menghemat devisa Indonesia.
Aplikasi teknologi ini dalam bioreaktor, Jika pemeliharaan dilakukan dengan baik, benar dan teratur bisa lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Jika teknologi hidrotermal ini diaplikasikan di suatu daerah, transfer teknologi dilakukan pada fase operasi yaitu setelah seluruh pembangunan dan komisioning serta trial selesai dan berjalan dengan baik. Training dilakukan di Indonesia selama kurang lebih tiga bulan.
Pengolahan sampah berteknologi hidrotermal beserta fasilitasnya memerlukan Lahan seluas kurang lebih satu hektar. Jika termasuk pembangkit tenaga listrik diperlukan seluas kurang lebih 1.5 (satu setengah) hektar. Pabrik pengolah sampah dan pembangkit listriknya  lebih baik dibangun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Ilmu yang saya dapatkan dari kuliah dan praktek selama 6 bulan bersama Tadashi Nakamura tersebut ternyata memberikan manfaat. Saya pun diundang secara resmi oleh  beberapa Pemerintah Daerah seperti Pemda Kabupaten Gresik, Pemda Kabupaten Bojonegoro, dan Pemda Kabupaten Jember untuk memberikan masukan kepada mereka bagaimana menanggulangi sampah. Bahkan terakhir, tanggal 26 Juli 2017 yang lalu saya diminta oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan "kuliah" kepada 33 pemkab/pemkot di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
-------mw-------