Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembayaran Diyat Satinah: Permainan Politik Partai Penguasa?

3 April 2014   04:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

Adapun pendapat yang tidak menyetujui Pemerintah melakukan pembayaran diyat bagi Satinah sebagaimana dijelaskan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana setidaknya memberikan tiga alasan yaitu:

1. Diyat merupakan uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kejahatan atau keluarganya, bukan oleh pemerintah. Uang diyat adalah imbalan bagi pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku. Dengan demikian, diyat tidak seharusnya dibayarkan oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara. Namun demikian, jika masyarakat di Indonesia ada yang bersimpati terhadap nasib Satinah, mereka bisa melakukan pengumpulan dana. Bila pemerintah telah mengalokasikan dana, maka itu merupakan sumbangan dari pemerintah. Bukan sebaliknya, pemerintah yang membayar diyat dan kekurangannya ditutupi oleh sumbangan dari masyarakat.

2. Bila pemerintah yang membayar diyat, ke depan akan ada tuntutan untuk terus menaikkan nilai diyat dari keluarga korban.

3. Tidak adil bagi masyarakat di Indonesia bila uang negara harus digunakan untuk membayar diyat. Bila nilainya fantastis dan setiap kali pemerintah yang harus membayar, ini menghilangkan hak banyak warga negara lainnya untuk mendapat kesejahteraan.

Tetapi, tampaknya alasan Hikmahanto Juwana bagai angin lalu oleh desakan dari para aktivis, masyarakat dan para ulama negara Islam agar Pemerintah membayar diyat tersebut. Pemerintah menyediakan sebagian uang tebusan dengan menyediakan uang Rp 12 milyar, dan sisanya masyarakat berupaya menggenapinya dengan melakukan saweran.

Tentu saja mendekati pemilihan legistlatif mendatang alasan yang dikemukakan oleh Hikmahanto Juwana di atas bagai angin lalu, Pemerintah yang dalam hal ini dikuasai oleh Partai Demokrat ingin menunjukkan pembelaannya kepada Satinah dengan harapan ada simpati dari masyarakat dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, diharapkan simpati itu berbuah pada kerelaan mereka untuk memilih Partai Demokrat untuk bisa memenangkan pemilu. Pernyataan di atas dari Presiden SBY yang sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat mengisyaratkan hal itu. Padahal sebelumnya menurut Presiden, permintaan itu harus dipikirkan dengan matang karena negara juga harus memperhatikan keadilan bagi rakyat di dalam negeri. Sumber disini.

Perubahan sikap Presiden itu bisa jadi menegaskan bahwa ada kepentingan partai politik penguasa dalam pembayaran diyat itu. Dan tak salah jika Hikmahanto mempertanyakan, "Perlu diingat TKI yang terancam hukuman mati saat ini lebih dari 30 orang. Bila dari jumlah ini keluarga korban meminta nilai diat yang fantastis, apakah ini tidak akan menggerus APBN?" katanya.

Artikel terkait

Save Satinah, Dilema Menebus Perampok dan Pembunuh

-------mw-------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun