Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

KPU Akan Terpidana? Ah, Tidak!

9 Mei 2014   16:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13996039301488380130

[caption id="attachment_323098" align="aligncenter" width="569" caption="https://assets.kompas.com/data/photo/2014/04/25/16300001-foto41780x390.JPG"][/caption]

Sumber Gambar

Saat ini ramai diberitakan tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga penyelenggara pemilu Indonesia ini jika tidak mengumumkan hasil rekapitulasi pilihan legislatif pada 9 April 2014 yang lalu dianggap melanggar Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 205 ayat-2 dan Pasal 207 ayat-1 yang sanksinya disebut dalam Pasal 319.

Adanya sanksi pidana itu karena dalam Pasal 205 ayat-2 disebut kata "wajib" dalam isi pasal itu "KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota." Penyebutan kata "wajib" artinya harus diumumkan tepat 30 hari setelah penyelenggaraan pileg 9 April 2014. Menurut perhitungan hari ini Jumat 9 Mei 2014 adalah jatuh tempo penetapan itu pada pukul 24.00 waktu setempat sebagai batas paling akhir.

Pasal 207 ayat-1 itu berbunyi "KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah hari pemungutan suara." Sedangkan bunyi Pasal 319 itu adalah "Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)."

Selain harus tepat waktu, penetapan hasil pileg 2014 itu tidak boleh dilakukan secara bertahap, alias harus mencakup semua hasil rekapitulasi suara pemilu legislatif.

Sampai tulisan ini dibuat 08.00 wib baru 26 provinsi yang disahkan KPU hasil rekapitulasi suara nasionalnya dalam pemilihan legislatif. Masih 7 provinsi tersisa yang menunggu giliran untuk disahkan. Ketujuh provinsi itu adalah Maluku Utara, Jawa Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur. Sumber disini.

Ditengarai potensi molornya hasil rekapitulasi tersebut disebabkan banyaknya masalah yang terjadi. Versi KPU, sda lima masalah yang diungkap KPU mengapa hasil rekapitulasi tersebut berpotensi molor yaitu (1) banjir protes saksi parpol; (2) suara dari luar negeri belum selesai dihitung; (3) perlu pencermatan ulang data pemilih; (4) perbaikan formulir C-1; dan (5) penyelesaian masalah saat rekapitulasi lama. Sumber disini.

Presiden, jelas Margarito Pakar Hukum dan Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI) harus segera menyelamatkan pemilu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) pada Jumat (9/5) jika pada hari itu KPU gagal mengesahkan rekapitulasi suara nasional pemilu legislatif sebagaimana yang diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu. Dan jika hal itu terjadi akan menjadi preseden pertama dalam pemilu di Indonesia di mana komisioner KPU harus diberhentikan di tengah jalan karena ketidakmampuan menetapkan rekapitulasi suara nasional sesuai perintah undang-undang.

"Pidana ini harus diproses. Karena ada pelanggaran etik di situ. Demi hukum, mereka harus diberhentikan, dan diangkat komisioner KPU yang baru," tutur mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Selasa (6/5). Sumber disini.

Hal yang senada juga diungkapkan Pengamat pemilu dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin. Menurutnya hasil pemilu terancam tidak sah jika KPU tidak menetapkan hasil pemilu nasional tepat waktu. Kondisi itu tak hanya berpengaruh terhadap calon anggota legislatif DPR dan DPRD saja, melainkan juga bagi caleg DPD. Selanjutnya Said mengatakan, polemik rekapitulasi suara disebabkan beberapa hal, seperti penggelembungan suara, jual-beli suara, dan potensi manipulasi kecurangan, baik di kabupaten/kota maupun provinsi.

"Ada juga hal yang paling serius soal suara yang tertukar. Dalam sejarah pemilu kita belum terjadi kasus semacam ini, tahun 2009 tidak terjadi bahkan tahun 1955 tidak pernah ada catatan surat suara yang tertukar dengan sebaran lebih dari 90 persen provinsi," kata Said Salahuddin. Sumber disini.

Hal yang berbeda terkait pidana pada KPU dikemukakan Pakar Hukum dan Tata Negara dari Universitas Hasanuddin Irman Putra Sidin. Menurutnya, penafsiran terhadap bunyi pasal tersebut harus hati-hati. Tidak serta merta dengan molornya penetapan hasil rekapitulasi, KPU langsung dikenakan pidana.

"Ini yang harus dipahami dulu. Secara prinsip konsitusional, penyelenggara negara yang sedang menjalankan tugas dan kewajiban negara tanpa ada maksud jahat dari pelaksanaan tugas tersebut tidak bisa dipidana," ujar Irman saat berbincang kepada detikcom, Rabu (7/5/2014).

Lebih lanjut Irman menurut Irman, penafsiran terhadap UU No. 8 Tahun 2012 tersebut, khususnya pasal tentang pidana KPU, tidak sesederhana bahwa keterlambatan penetapan menjadi objek pidana dan dapat menyeret komisioner KPU ke penjara. Jika pasal tersebut ditafsirkan demikian, menurutnya ada kekeliruan dalam UU yang harus dikoreksi.

"Kalau KPU tidak berhasil menetapkan, bukan pidana intinya. Tapi keputusan itu bertentangan dengan undang-undang. Itu yang diperdebatkan, tidak ada urusan dengan orangnya," imbuh Irman. Pidana dapat dikenakan kepada KPU, jika komisioner KPU terbukti melakukan tindak pidana kriminal yang mengganggu proses tahapan pemilu. Irman memaklumi pandangan lain yang membaca pasal tersebut secara tekstual. Sumber disini.

Selain berbeda pada kriminalisasi KPU, Irman juga berpendapat lain dengan Margarito terkait penggantian Komisioner KPU dan Perpu. Irman menjelaskan bahwa Perpu itu hanya berisi aturan penambahan masa rekapitulasi, dan tidak ada pemberhentian serta penggantian KPU di tengah jalan. Karena KPU tidak terbukti melakukan pidana.

Menegaskan bahwa tidak ada unsur kesengajaan berbuat pidana, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiarti, menjelaskan lembaganya sangat serius menyelesaikan rekapitulasi suara agar sesuai waktu yang telah ditetapkan. Dia optimis penetapan hasil rekapitulasi suara nasional pemilu legislatif 2014 sesuai jadwal.

Dalam proses rekap ini, menurut Ida Budhiarti, KPU amat memperhatikan berbagai laporan dari tiap saksi. KPU juga berusaha meneliti jika perbedaan data, baik data pemilih maupun perolehan suara pada tiap presentasi KPU provinsi.

"Benar bahwa ada ketidaksempurnaan tetapi juga ada spirit, ada semangat yang kami tunjukan kepada publik bahwa kami juga mempunyai tanggung jawab yang moral untuk memperbaiki keliruan administrasi," jelas Ida Budhiarti. Sumber disini.

Di pihak lain di tengah kekhawatiran keterlambatan pengumuman penetapan hasil rekapitulasi KPU tersebut, KPU tetap optimis hasil pemilu legislatif 2014 bisa ditetapkan sesuai dengan jadwal, meski masih ada 7 provinsi yang belum disahkan. Ketua KPU Husni Kamil Manik, menyatakan hasil pileg akan ditetapkan Jumat (9/5/2014) pukul 19.30 WIB. Sumber disini.

-------mw-------

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun