Pada jaman yang serba digital ini, beberapa orang tetap bertahan pada ranah analog. Barangkali ini adalah bagian dari sifat manusia yang memerlukan atau mementingkan keseimbangan.
Keseimbangan adalah sebuah kemutlakan hukum alam. Dan justru keseimbangan itu ada karena perbedaan. Misalnya kutub positif dan kutub negatif, perbedaan inilah yang menjaga kesetimbangan. Tanpa perbedaan ini akan terjadi choas, kekacauan yang hebat dan tak terkendali.
Mengapa fotografi analog? Ini menjadi sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Era digital memberikan begitu banyak kemudahan. Mengapa beberapa orang tua bertahan di dunia analog? Jawabnya agak mudah, mungkin mereka tidak siap, tidak mau, dan tidak tahu dunia digital.
Tetapi ada beberapa anak muda yang malah memasuki dunia analog dan melawan derasnya arus digital, mengapa? Kemarin saya berbincang ringan sambil ngopi dengan beberapa anak muda yang bergiat atau berniat bergiat di dunia fotografi analog. Inilah beberapa poin menarik dari obrolan kami.
Jawaban lain biasanya adalah supaya berbeda. Asal beda tanpa konsep yang matang jadinya juga hanya latah, asal beda yang tanpa makna. Konsep pembeda inilah yang harus dipikirkan dan didiskusikan dengan mendalam.
Menurut saya, alasan pertama kenapa memilih fotografi analog adalah: 'be the master of the tools' atau 'menjadi tuan atas alat yang kita miliki'. Pada jaman digital ini hampir semua alat mempunyai fungsi otomatis, bahkan pada perkembangan selanjutnya alat-alat yang kita miliki mempunyai kecerdasan buatan atau artificial intelligent.Â
Dengan data perilaku digital dan jejak digital kita, HP kita bisa memprediksi keinginan dan kemudian menawarkan sesuatu kepada kita. Kita jadi seperti diatur oleh alat, bukan kita yang mengatur alat.
Hal ini juga kita jumpai pada kamera canggih dengan face detection. Kamera akan mengarahkan fokus pada wajah orang yang dia sukai, bukan wajah orang yang kita inginkan. Jadi seakan kamera mengatur keinginan fotografer.
Maka analog fotografi adalah sarana pembiasaan merencanakan sesuatu dengan baik dan sarana belajar membaca situasi dan mengambil keputusan yang tepat.
Untuk menghasilkan foto analog yang baik, fotografer harus membaca sinar yang tersedia, sesudah itu menentukan kecepatan, mengatur bukaan rana, dan menentukan frame sebelum menekan tombol untuk mengambil gambar. Dia juga harus ingat filmnya ISO berapa dan ada berapa film yang masih tersisa.
Ketika reuni tak jarang kita membincangkan teman-teman yang nilainya selalu bagus dan selalu juara kelas, tapi tak jarang pula mereka hidupnya biasa-biasa saja sesudah lulus. Kadang kita mendapati juga bahwa teman yang semasa sekolah sering panjat pagar dan bolos malah hidupnya berhasil.
Perencanaan yang baik, proses yang teliti, dan kesabaran inilah yang biasanya menghasilkan foto inspiratif. Kamera digital tentu juga bisa dipakai dengan cara ini, namun fitur-fitur otomatis dan keserbacepatan kamera modern mendorong fotografer untuk memotret tanpa berpikir.
Beban planet kita memikul sampah semakin berat. Kebiasaan memotret dengan kamera analog akan membantu kita belajar merencanakan dengan baik, bertindak dengan hati-hati dan terukur, dan berpikir reflektif tentang hasil dari tindakan kita. Selamat mencoba fotografi analog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H