Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bincang Filosofi Fotografi Analog

6 Januari 2019   13:21 Diperbarui: 6 Januari 2019   18:27 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk menghasilkan foto analog yang baik, fotografer harus membaca sinar yang tersedia, sesudah itu menentukan kecepatan, mengatur bukaan rana, dan menentukan frame sebelum menekan tombol untuk mengambil gambar. Dia juga harus ingat filmnya ISO berapa dan ada berapa film yang masih tersisa.

Analog garis miring (dok pri)
Analog garis miring (dok pri)
Alasan ketiga adalah belajar sabar bahwa tidak ada hasil yang instan dalam hidup, there is no immediate rewards in life. Foto yang dihasilkan dengan cepat, langsung upload di IG, mendapat ratusan like belum tentu foto yang menginspirasi secara mendalam, belum tentu foto yang menggerakan hati.

Ketika reuni tak jarang kita membincangkan teman-teman yang nilainya selalu bagus dan selalu juara kelas, tapi tak jarang pula mereka hidupnya biasa-biasa saja sesudah lulus. Kadang kita mendapati juga bahwa teman yang semasa sekolah sering panjat pagar dan bolos malah hidupnya berhasil.

Perencanaan yang baik, proses yang teliti, dan kesabaran inilah yang biasanya menghasilkan foto inspiratif. Kamera digital tentu juga bisa dipakai dengan cara ini, namun fitur-fitur otomatis dan keserbacepatan kamera modern mendorong fotografer untuk memotret tanpa berpikir.

Bincangkan saja (dok pri)
Bincangkan saja (dok pri)
Alasan yang keempat adalah mengagumi keindahan dalam ketidaksempurnaan, menemukan perfection in imperfection. Hasil foto kamera analog agak sulit diedit seperti file foto digital. Foto analog tidak bisa 100% flawless seperti hasil olah digital. Dalam kehidupan nyata, tidak ada orang yang kulitnya 100% mulus seperti potret yang dioperasi plastik dengan Photosop. Perfection itu kadang menjemukan.

(dok pri)
(dok pri)
Satu hal lagi yang bisa kita pelajari dari budaya analog adalah menghindari budaya membuang dan budaya men-delete. Sikap 'toh nanti bisa dibuang, di-delete' ini kadang terbawa dalam sikap hidup keseharian. Budaya memanfaatkan kembali dan mendaurulang sekarang semakin langka.

Beban planet kita memikul sampah semakin berat. Kebiasaan memotret dengan kamera analog akan membantu kita belajar merencanakan dengan baik, bertindak dengan hati-hati dan terukur, dan berpikir reflektif tentang hasil dari tindakan kita. Selamat mencoba fotografi analog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun