Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Temani Tunggui Kiamat

12 Desember 2012   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:47 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim dingin tahun ini memang agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bulan Desember sudah berjalan dua minggu tetapi udara masih relatif hangat dan belum ada salju. Minggu ini adalah minggu terakhir semester musim gugur. Perpustakaan buka sampai jam 2 pagi untuk memberi kesempatan bagi mahasiswa yang ingin lembur belajar. Sesudah seharian duduk di perpustakaan aku mulai bosan dengan suasananya yang sedikit monoton dan terlalu sepi bagiku. Kadang terdengar mahasiswa yang berbisik-bisik saat diskusi karena takut mengganggu mahasiswa lain. Suara lain yang cukup dominan adalah suara ketukan-ketukan jari di keyboard atau suara mouse yang scroll-nya terlalu keras. Paling sering terdengar adalah suara mahasiswa menghela nafas panjang atau suara hembusan nafas yang hampir seperti mendengus. Terdengar keputusasaan dalam nafas-nafas berat itu. Sesudah makan malam aku memutuskan untuk belajar di kafé saja. Kafé selalu memberikan energi yang lebih bagiku. Suara pelanggan yang ngobrol, suara pelayan café, suara music, dan suara mesin kopi merangsang otakku untuk bekerja lebih keras. Belum lagi rangsangan bau. Bau bubuk kopi yang tersiram air mendidih bagiku sangat sexy. Bau ini merangsang otakku tetap waspada dan terjaga. Belum lagi ditambah bau parfum pelanggan yang lalu lalang. Ditambah pula oleh rangsangan visual terhadap otak. Bentuk dan warna yang tertangkap mata sangat beragam. Otakku dipaksa seratus persen aktif oleh rangsangan bunyi, bau, dan visual kafé. Mungkin ini yang menyebabkan aku merasa lebih cerdas setiap kali duduk di pojok kafe. Café yang terletak di seberang kampus ini selalu ramai dan buka 24 jam. Selalu saja ada orang yang butuh kopi untuk tetap terjaga. Pagi dan siang hari pelanggan café ini selain mahasiswa adalah pekerja kantoran dan pegawai toko dari distrik belanja ini. Pada malam hari hampir semua yang nongkrong di café adalah para mahasiswa yang bosan belajar di perpustakaan seperti saya. Mereka membawa buku, laptop atau tablet jadi suasana café memang menjadi seperti perpustakaan. Bedanya adalah pada rangsangan bunyi, aroma, dan visual yang lebih kaya.

13553047841998443034
13553047841998443034
Beruntung aku tadi masuk café agak sore jadi mendapat tempat yang nyaman, di sudut dekat jendela dan ada colokan listrik. Sekarang hampir jam 12, semua meja sudah terisi. Beberapa orang terpaksa berbagi meja dengan orang lain. Tiba-tiba ada seorang mahasiswi berwajah Asia mendekati mejaku. Mejaku termasuk berukuran kecil tetapi ada tiga kursi yang mengitari dan yang dua masih kosong. Dia memilih bergabung di mejaku mungkin karena dia merasa nyaman dengan sesama orang Asia. “Do you mind if I sit here?” katanya sambil meraih salah satu kursi yang kosong. “No, no, not at all.” Jawabku. Otakku sudah mulai lambat karena lelah dan mengantuk. Mungkin kedatangannya akan menambah energi di otakku karena ada tambahan rangsangan visual dan mungkin juga rangsangan bunyi atau aroma.
13553048761194436808
13553048761194436808
Ku kira dia hanya mampir untuk sekedar ngopi saja karena dia tidak seperti mahasiswa lainnya yang membawa banyak buku dan laptop atau tablet. Duduknya tidak tenang. Tangan kirinya memegang smartphone berlayar agak lebar dan tangan kanannya memainkan rambut di belakang telinganya. Sesekali dia meraih cangkirnya, bibirnya agak bergetar ketika menyeruput kopi. Matanya memandang keluar jendela sepintas lalu kembali ke layar smartphonenya. Tanpa sadar kadang dia menjentikan jarinya ke cangkir kopi menimbulkan bunyi ketukan yang nyaring dan cepat. Nafasnya semakin lama semakin pendek-pendek.
13553049321861659236
13553049321861659236
Kadang mata kami berbenturan. Aku heran kenapa dia begitu gelisah. Mungkin lebih dari sekedar gelisah. Sepertinya dia juga heran mengapa aku begitu tenang dan kalem. Ketika mata kami berbenturan agak lama, alisnya sedikit terangkat seolah bertanya: “kok kamu santai banget?” Lalu mata kami beradu lagi. Cukup lama. Matanya yang agak sipit menghujam mataku. Bibirnya yang mungil terkatup rapat dan nafasnya tertahan. Tangannya mencengkeram pinggiran meja. Lalu dia melirik smartphone-nya. “Ah… sudah jam 12 lewat tiga detik dan tidak terjadi apa-apa,” bisiknya. Perlahan tangannya melepaskan cengkeramannya, nafasnya terhembus panjang dan lega, dan bibir mungilnya tersenyum seolah-olah berkata, “terima kasih sudah menemaniku menunggu kiamat.”

13553049911597684413
13553049911597684413

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun