Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi

1 September 2023   22:38 Diperbarui: 1 September 2023   22:42 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang sering bilang demokrasi. Demokrasi di tataran ekonomi. Demokrasi di tataran politik. Demokrasi di tataran pemerintahan. Demokrasi di tataran sosial. Demokrasi adalah salah satu kosa kata yang ngetop dalam era yang serba digital dan tak berbatas ruang.

Pada titik tertentu ada orang-orang yang memaksakan kehendak, agama, kepercayaan, perilaku, budayanya pada orang lain. Satu kelompok harus menurut pada kelompok lain. Ada orang ngomong seenak udel juga atas nama demokrasi. Ada juga, sender tanpa bukti otentik ke dunia digital. Pada titik ini, demokrasi sudah mulai tergerogoti dengan kata demokrasi itu sendiri.

Demokrasi itu bisa rumit, bisa sederhana. Ada yang teriak-teriak di Medsos kalau negara ini nggak becuslah. Mematikan perbedaan pendapat. Membatasi suara orang berbeda pendapat. Mematikan oposisi. Pokoknya menderita semenderitanya. Pertanyaannya? Kok bisa?

Mari tertawa sambil minum teh hangat Gunung Kerinci atau Gunung Dempo. Awas keselek kalau tegukan tidak dinikmati dulu!

Jawabannya. Lah, yang beda pendapat saja masih bisa sender video di youtube, X, WA grup dan njeplak. Masih bisa ngomong negara tidak becus. Masih bisa orang kritik, kritik orang. Bukan ngatoi yo. Nah kalau ini, mohon cari Wong Pelembang untuk tahu arti dan makna ngatoi.

Mereka yang ngocehi pemerintah juga masih ada kok. Dan juga, mereka bisa ngoceh berkali-kali. Unggah berkali-kali. Jadi di mana letak mematikan pendapat mereka. Membungkam pendapat. So.

Ah sudah lah.

Itulah elemen demokrasi yang sebenarnya. Mereka yang tidak masuk di pemerintahan cenderung begitu. Ada oposisi. Ada teman. Ibarat koin ada angka dan ada burung.  Apapun posisi politik mereka, penyuaraan ada aturannya. Jangan sampai berbenturan dengan hukum. Di alam demokrasi itu ada hukum dan aturan.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang artinya masyarakat/rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan. Ringkasnya, rakyat yang berkuasa. Rakyat yang menentukan siapa yang diberinya mandat kekuasaan.

Caranya, dalam kehidupan nyata pilihan ketua RT. Itu contoh konkrit. Kalau ada yang tidak tahu contoh nyata itu, sudah kembali ke sekolah dulu. Pilihan ketua kelas mulai dari SD, SMP dan SMA. Pilihan ketua kelas biasanya di pimpin oleh wali kelas.

Ini kejadian SMP. Wali kelas mengumumkan siapa saja yang ingin mencalonkan, dapat mengajukan diri. Setelah itu ditanyakan ke seluruh siswa masih adakah yang  layak dicalonkan? Siswa yang kagum, suka dengan siswa lainnya biasanya akan menyebut nama (temannya). Wali kelas akan menanyakan kesediaannya dan biasanya jika mau, ada teriakan untuk maju, ayo-ayo, maju-maju atau menyebut-nyebut namanya. Gemuruh.

Lalu pilihan, bisa dengan kertas suara (buku tulis yang disobek bagian tengahnya. Dibagi-bagi, kecil-kecil asal cukup untuk tulis nama atau nomor mewakili kandidat calon ketua kelas). Suara terbanyak jadi ketua kelas, suara terbanyak kedua jadi wakil. Pakemnya seperti itu. Bendahara, biasanya dipilih dari perempuan. 

Di masa SMP pernah menjadi saksi, seorang perempuan good looking, tomboy bertarung untuk menjadi ketua kelas. Menang dengan skor yang sangat tipis. Kejadian tersebut, menjadi kali pertama untuk ke depan mengetahui kalau dulu waktu SMP pernah terjadi pertarungan gender.

Pak RT yang dipilih itu penerima mandat. Ketua kelas terpilih itu penerima mandat. Mandat kekuasaan untuk memimpin warganya. Mandat kekuasaan untuk memimpin kelasnya. Simple. Ini demokrasi langsung lingkup kecil.

Demokrasi itu mudah untuk diucapkan disampaikan diteriakkan tetapi terkadang bahkan sering menjadi kabur ketika dilaksanakan. Pengucap, penyampai, peneriak, sender terkadang lupa diri kalau dengan ucapan, sampaiannya dan teriakkannya itu sudah menandakan kalau dia menjalani hidup di alam demokrasi. Ketika pengucap, penyampai, peneriak sender sudah tidak bisa lagi berucap, menyampaikan dan meneriakkan pendapatnya, pada saat itulah sebenarnya demokrasi sudah mati. Ketakutan yang ada. Kalau masih bebas ya artinya pengucap, penyampai, peneriak masih hidup di alam demokrasi.

Suara Rakyat
Suara rakyat. Suara Rakyat. Rakyat. Rakyat. Atas nama rakyat. Stop! Terkadang mengatasnamakan rakyat itu begitu entengnya diucapkan, disenderkan. Atas nama rakyat itu terkadang perlu ditanyakan? Perlu ditanyakan apa betul? Berapa jumlahnya? Rakyat yang mana? Apa tujuannya?

Anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI itu sebenernya yang bisa mengatasnamakan rakyat. Kadang masih ada juga yang jahil, nanya, Dapil mana dia?

Jika yang ngomong atas nama rakyat adalah orang yang berdemo di jalan, depan kantor kabupaten/kota/provinsi atau di DPRD kabupaten/kota/provinsi dan DPR RI maka agak aneh kalau mereka mewakili rakyat. Pertanyaan remeh ini kadang menyakitkan tetapi perlu juga dipertanyakan karena terkadang banyak kelompok-kelompok kepentingan bersuara atas nama demokrasi. Padahal mereka memiliki hidden agenda tersendiri.

Coba tanyakan pada peserta demo, kenapa ikut demo? Apa yang didemokan? Tujuannya apa?

Demokrasi sejatinya adalah pesta. Demokrasi dipandang sebagai populasi dan hak asasi manusia adalah mereka yang berumur 17 tahun. Mereka memiliki hak untuk memilih siapapun yang mereka inginkan mulai dari anggota legislatif (DPRD, DPR RI, DPD) hingga eksekutif (bupati/walikota, gubernur dan presiden).

Salam Kompal

Eh, demokrasi di Kompal itu saja susah. Satu suara untuk menentukan tanggal nonton bareng walau sudah ada "bandar" saja harus saling mengalah. Melepas jadwal masing-masing untuk kumpul. Ada yang bisa. Ada yang tidak pada waktu tertentu. Itu baru pada satu komunitas. Komunitas yang karakteristik anggotanya unik (pekerja swasta, pegawai negeri, BUMN, ibu rumah tangga, pengangguran juga ada). Bagaimana kalau kabupaten/kota, provinsi, satu Indonesia?
Kesimpulannya apa mang? Tidak bisa disimpulkan. Silahkan tarik kesimpulan sendiri.

Ada bahan bacaan untuk menambah wawasan adalah Democracy a Beginner's Guide (2005) David Beetham.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun