"Ibu kita masih ada 12 liter minyak goreng. Boleh aku minta satu, nanti potong gaji saja," pinta Bude pada Ibu yang sedang menyiapkan materi kerja dengan Teams.
Mataku yang sedang di teras langsung melotot dan menunjuk ke notebook dan memberi isarat menunjuk kuping dan mulut, tanda apakah mic notebook sedang hidup. Istriku mengangkat jempol. Aman dah.
"Ambillah dua," kata istriku. Bude pun sudah ikut gaya anak muda sekarang dengan mengangkat dua jempol sambil mengucapkan, "terima kasih".
***
Gambaran itu membuat aku yang sedang duduk menikmati ubi rebus tertawa dalam hati. KKP memang begitu. Hampir tidak pernah ragu untuk berbagi. Satu prinsipnya yang dibawa sejak masih gadis adalah "memberi itu butuh keberanian". Memberi ketika sedang melimpah biasa saja. Memberi ketika dalam tekanan kekurangan itu luar biasa.
Menemaninya bertahun-tahun sungguh luar biasa. Bersyukur sampai sekarang sudah beranak, prinsip itu masih dipegang. Hampir tidak ada ketakutan dalam menjalani hidup. Masker susah di awal pandemi Covid 19 masih kalem bahkan membeli masker dan berbagi vitamin untuk lingkungan keluarga dan sekitar.
Tekanan untuk konsisten memegang prinsip memberi dan berbuat kebaikan membuat kami terkadang harus "berkelahi kata" gas rem, rem gas, bisa membuat emosi tetapi pada akhirnya merekat berpandang mata. Berpandang cinta.
Safety valve adalah lepaskanlah, berikanlah apa yang menjadi kebutuhan orang-orang sekitar. Ketika tekanan orang-orang sekitar sudah rendah. Tawa, senyum, rasa syukur yang terpancar dalam muka dan tatapan mata mereka adalah energi kebaikan yang terkadang tidak akan pernah terduga pergerakannya.
Orang-orang baik akan selalu berdatangan memberi jalan, melindungi, memberi informasi. Mereka seakan-akan bergerak mengikuti irama drama doa kebaikan.
***
Bude yang kembali ke dapur dengan senyum karena memperoleh minyak goreng empat liter adalah buncahan kebahagian yang menerangi. Bungsu yang sedang sarapan di meja makan bertanya pada Bude. "Bude bahagia banget? Pake banget ini".
Bude tersenyum. "Minyak goreng. Bude dapat empat liter dari Ibu. Potong gaji".
Bungsu yang sedang sarapan pisang goreng dengan parutan keju dan segelas teh manis agak sedikit mikir. "Maksudnya Bude beli minyak goreng dengan Ibu".
Tengah yang juga sedang di meja makan. Langsung megangin rambut kucir kuda Bungsu. "Dek jangan mikir yang aneh-aneh ya".
"Ibu kok nggak kasihan sama Bude," kata Bungsu sambil melahap, menyelesaikan pisang goreng kejunya. Bungsu langsung mau menemui Ibu di teras.
Sulung yang mendengar percakapan Bude, Bungsu dan Tengah pun berteriak dari kamarnya. Pintu kamarnya tidak tertutup. "Bungsu. Jangan cepat mengambil kesimpulan. Jangan sok jadi SJW. Woi. Bungsu! Ibu lagi kerja di teras".
Sulung berusaha mencegah Bungsu. Terlambat. Dari ruang tengah, Sulung sudah melihat Bungsu sudah berada di depan Ibu. Ibu lagi asik dengan notebook serta HP serba lawasnya.
Ibu yang melihat Bungsu memasang tampang serius pun melirik dari sudut matanya. Seakan tak menggubris wujud Bungsu, ibu terus memantengi notebook. Dua menit berlalu, ibu tetap memasang muka cuek. Menegur Bungsu pun tidak.
Merasa dicuekin, Bungsu mendekat. Ibu langsung mengarahkan satu jari ke bibirnya yang tipis. Bungsu ngeper. Bungsu tetap berdiri di depan ibu. Layaknya waktu kecil dihukum menghadap tembok ketika tidak membereskan mainannya atau tidak tepat waktu mandi pagi atau mandi sore. Keras kepala. Ditunjukkan Bungsu.
Tengah yang melihat dan sepertinya bakal mencium bau omelan Ibu pada Bungsu langsung masuk ke kamar. Keluar membawa kertas catatan dan pena. Tengah menghampiri Bungsu dan memberikan kertas catatan dan pena.
Ibu bergeming. Usai bekerja memakai Teams. Ibu tetap asik dengan pekerjaannya mantengin data di notebook. Sesekali memegang HP melalui pesan WA meminta stafnya menjalankan perintahnya.
Ibu menunggu reaksi Bungsu. Bungsu sepertinya sudah mulai gelisah. Mau menulis pesan di catatan atau tetap berdiri sampai ibu menyelesaikan pekerjaannya. Sebuah pertarungan harga diri.
Sulung dan Tengah yang tahu situasi tetap pada posisi mengawasi dari ruang tengah. Siapa mau kesambar kemarahan Ibu. No. No. No. Lebih baik jaga jarak sesuai Protap.
Lima menit belum ada tanda akan terjadi dialog baik verbal maupun non verbal (melalui catatan). Sepuluh menit. Lima belas menit. Sekitar tiga puluh menit barulah ibu menelpon seseorang di ujung sana, "selesai ya. Selamat bekerja. Kalau ada apa-apa, atau kesulitan tolong kabari secepatnya".
Bungsu mendekati ibu. Memeluk ibu kandungnya.
Wak wak wak. "Dasar Markom. Pandai mengambil hati ibu", kata Sulung. Markom (Marketing komunikasi) julukan yang diberikan oleh keluarga pada Bungsu.
Dengan gaya manjanya, Bungsu mengungkapkan kegelisahan Bude yang kesulitan mencari minyak goreng. Ibu mendengarkan keluhan Bungsu. "Apakah Ibu akan memotong gaji Bude bulan depan untuk empat liter minyak goreng," tanya Bungsu tanpa ewuh pakewuh.Â
Ibu memandangi wajah Bungsu. Anak perempuan yang tumbuh dengan baik. Terbersit perjuangan melahirkan Bungsu di tengah perjuangan menyelesaikan S3, Bude seakan-akan dikirim Tuhan dari langit karena mengasuh Bungsu dengan sepenuh hati. Jarang berkeluh kesah. Bahkan lambat laun, Bungsu dianggap anak sendiri oleh Bude (ibu asuh) dan Pak De. Bungsu pun sudah mau masuk SMP. Rambutnya hitam bergelombang. Mulutnya nyericis. Cepat sekali menghapal. Senyumnya. Bulu matanya lebat.
Tiba-tiba Ibu memeluk Bungsu. Dari sudut kaca mata aku melihat mata Ibu berkaca. Antara aku dan Ibu berjarak sekitar 5 meter. Aku kalau Ibu kerja lebih memilih duduk dan menikmati kopi di bawah pohon jambu.
Aku melepasliarkan drama ini. Dua lelaki sebagai kakak Bungsu di ruang tengah, juga terpana melihat adegan. Mereka seperti terkena hipnotis time travel.
"Siapa yang akan memotong gaji Bude bulan depan hanya untuk empat liter minyak goreng," kata Ibu dengan suara sedikit serak.
"Bude tadi bilang begitu ketika memasukkan dua bungkus minyak goreng," kata Bungsu.
"Apakah Ibu sudah memotong gaji Bude bulan depan? Apakah kamu yakin Ibu akan melakukannya?" tanya Ibu sambil terus mendekap anak perempuannya yang akan beranjak remaja dalam hitungan bulan.
***
Minyak goreng dua belas liter dalam enam bungkus masing-masing dua kilogram itu adalah pembelian sejak Juni tahun lalu. Setiap bulan Ibu membuat catatan untuk belanja. Minyak goreng kalau stok masih banyak hanya membeli empat liter.
Setiap bulan kami memang mengkonsumsi empat liter untuk menggoreng sarapan pagi, tempe goreng, tahu goreng. Paling sering adalah menggoreng pempek kalau ada kiriman dari Palembang. Kebetulan Natal kemarin membeli enam liter minyak goreng. Persiapan untuk goreng menggoreng pempek kalau ada tamu, keluarga datang. Sejak Januari hingga Maret, belum pernah beli minyak goreng lagi.
***
Kening Bungsu pun dicium oleh sang perempuan yang sesama berambut hitam mengikal. "Kasih tahu Bude sono, kalau minyak goreng itu diberi oleh Ibu sebagai tanda cinta".
Perempuan yang mulai meninggi tubuhnya itu langsung melepaskan diri dan berlari ke dapur. Bude yang akan membawa pisang goreng berparutan keju ke depan pun terhenyak ketika melihat Bungsu yang akan memeluknya.
"Ada apa ini?" tanya Bude. "Minyak goreng diberi Ibu. Bulan depan gaji Bude tidak dipotong," cerocos Bungsu sambil memeluk pinggang Bude.
Seakan sudah tahu apa yang akan dilakukan. Bungsu melepaskan pelukan dan membantu membawa empat piring pisang goreng parutan keju ke depan bersama Bude.
Bude meletakkan dua piring di hadapan meja Ibu dan Bungsu meletakkan dua piring di meja Bapak yang sudah berkumpul dengan dua anak lelakinya di bawah pohon jambu. Dua blok, teras dan pohon jambu dengan beda jenis kelamin.
"Pak coba tutup drama jelang siang ini," kata Ibu sambil mengedipkan matanya.
"Nikmatilah pisang goreng yang digoreng dengan minyak goreng. Jangan pernah mematikan variasi, kreatif untuk buah pisang. Bisa digoreng. Bisa direbus. Bisa dipanggang. Jangan mengharuskan, mematikan kreativitas untuk pisang. Begitupun untuk ubi, tempe, tahu, gandum dan sebagainya. Jangan lelah untuk berbuat baik. Walaupun itu hanya sapa dan senyuman" kata Bapak.
Belum selesai bicara, pisang goreng keju dua piring di meja, bawah pohon Jambu tinggal sebiji, lima biji lainnya sudah disikat oleh dua lelaki yang sudah beranjak remaja mendekati dewasa. Ahhhh. Waktu begitu cepat.
Blok teras emang jaga image keperempuanan. Kemayu. Sopan santun. Awas blok jambu akan menyerang blok teras mengambil pisang goreng keju.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H