Membaca sejarah kuasa lelaki ribuan tahun lalu pada perempuan adalah kesedihan dan derai air mata. Membaca sejarah perempuan dalam perang adalah kepiluan dan kepedihan tak ada obatnya. Membaca berita (baca: Sejarah) perempuan sekarang seperti luka kena sembilu tersiram air jeruk.
-
Lebih dari dua puluh lima tahun lalu, seorang perempuan berada di sudut sebuah ruangan. Perempuan itu adalah dua atau tiga dari puluhan perempuan yang memang berbeda dengan perempuan lainnya.
Di ruangan itu sedang ada diskusi mengenai perempuan dan perkawinan dalam sejarah. Perempuan yang berbeda dari sudut penampilan dan pakaian itu lebih banyak tertunduk sambil memainkan penanya mencatat topik-topik pembicaraan.
Menjelang akhir diskusi, sang mentor bertanya pada perempuan di sudut, "bagaimana cara menghormati perempuan". Sang mentor berdiri persis di depan perempuan. Sang perempuan terhenyak sejenak dan kemudian menjawab, "monogami". Sang mentor yang kebetulan lelaki kini menjadi yang terhenyak dengan jawaban sang perempuan.
Tidak ada diskusi. Jawaban itu seakan-akan menjadi penutup diskusi.
--
Hari gini masih berlagak, sekarang perempuan sudah enak, dimuliakan, statusnya sama dengan lelaki. Mana sejarah perempuan ribuan tahun lalu yang dikuasai oleh lelaki? Diminta untuk membaca pasti ngambek. Mana sejarah perempuan dalam perang yang pilu dan pedih, diperkosa menjadi budak? Diminta untuk kembali membaca selalu berkelit.
Di dunia modern ini, kasus perkosaan perempuan diluar nalar terjadi di berbagai tempat. Pelaku-pelakunya tersebar di banyak wilayah dengan segala macam predikat sosial yang melekat pada pelaku. Begitupun dengan alasan perkosaan dan penculikan.
---