Baru urusan sawah belum urusan teknologi. Mari "melihat", tidak lihat apa kalau pemilik sawah juga menginvestasi uangnya ke bibit, obat dan pekerja untuk merawat mulai dari musim tanam hingga musim panen. Belum lagi kalau ada hama.
Penggilingan padi juga menginvestasi modal pada mesin. Kadang juga memberi pinjaman modal pada petani yang kekurangan modal. Bayarnya ketika panen dan menggiling gabah kering giling di tempat penggilingan yang memberi pinjaman modal. Sesederhana itu etikanya.
Bagaimana dengan pabrik yang mempekerjakan seratusan orang atau lebih? Â Justru pabrik lebih rumit mulai dari urusan perizinan, sampai ke standar barang, standar lingkungan, hak cipta, listrik, CSR dan upah.Â
Mereka diawasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku mulai dari pusat sampai provinsi dan kabupaten kota. Silahkan cek dan penelitian apakah provinsi dan kabupaten kota juga membuat peraturan perundangan yang justru malah memberatkan urusan investasi?
Upah adalah hak. Mereka yang sudah bekerja berhak untuk mendapatkan upah baik dengan perjanjian kerja ataupun dengan perjanjian kata seperti di dusun. Kerja itu atas kesepakatan.
Guru honor, pekerja honor di pemerintahan, pekerja harian lepas silahkan saja dicek apakah sudah sesuai dengan standar upah daerahnya. Boleh jadi jauh dari harapan. Bayaran mereka terkadang juga "dipukul" tiga bulan sekali atau enam bulan sekali.
Kalau ada yang bilang jangan main pukul rata, beda tempat, beda variabel dan lain sebagainya. Opini ini tidak ke sana. Opini ini hanya untuk membuka wawasan, pisau analisis.
Dengan pisau kapitalis ternyata di sekitar lingkungan kita ada kapitalis juga. Jangan teriak-teriak kapitalisme gaya baru, padahal diri sendiri adalah pelaku kapitalisme.
Coba buka UMKM, tidak usahlah buka usaha gorengan saja. Silahkan mumet. Kalau mau cari pembantu apakah mau diupah dibawah UMR. Giliran buka usaha, maka akan jadi giliran dikejar kenaikan upah, keamanan, kebersihan kalau tempatnya strategis. Belum kalau rugi.
Gaya Hidup dan Politik