Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tanpa Persetujuan Korban

12 November 2021   11:21 Diperbarui: 12 November 2021   11:49 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seingatku dulu waktu kuliah pernah menyiuli segerombolan mahasiswi kimia ketika mereka akan ke Laboratorium Kimia. Kebetulan Labor mereka berdekatan dengan kantin tempat biasa kami nongkrong menunggu sore untuk pulang ke tempat kost.

Sebagian besar dari mereka cuek terus berjalan. Tapi ada satu yang berbalik dan matanya melotot tertuju padaku. Tatapan tajamnya menghujam. Tatapan marah. Aku bergidik.

Sekitar dua minggu kemudian aku mendatangi tempat kos khusus perempuan. Tujuan menemui teman yang memiliki fotokopi mengenai Etika Protestan dari Weber, tugas baca. Sungguh terkejut bukan kepalang, perempuan yang melotot tertuju padaku beberapa waktu lalu di dekat kantin ternyata kos di tempat yang sama dengan temanku.

Mak jleb. Sungguh dia seperti melupakan kejadian. Teh botol disuguhkan. Pizza disuguhkan. Sambil menunggu teman yang belum keluar yang ternyata masih saudaraan dengan anak kimia. Belum minum dan makan walau itu hidangan mahal untuk ukuranku karena belum dipersilahkan. Ngecess sudah pasti. Perbaikan gizi ia.

"Semoga tak kau ulangi lagi siulanmu itu pada perempuan. Jangan kau kira perempuan diam itu setuju dengan perbuatanmu. Aku marah padamu waktu itu".

Hanya satu kata yang bisa meluncur dari mulutku. "Ia".

Temanku muncul sambil membawakan fotokopi Etika Protestan dari Weber. "Ini anak kimia. Dia masih saudaraan denganku. Kalian saling kenalkah? tanya temanku.

"Kenal secara tidak baik," kataku.

"Sekarang kenal baik," balas si anak kimia.

Entah kenapa teman satu fakultasku tertawa dan kami pun ikut tertawa.

Anak kimia ini bukan anak sembarangan. Dia sebenarnya punya Om yang menyediakan ruang di Sei Gerong Plaju untuk ditempati. Tapi si anak kimia memilih kos di tempat kos yang dimiliki oleh dokter spesialis anak. Jadi jelas dan terang benderang kalau di kamarnya ada kulkas dan minuman ringan serta desktop plus printer LX 800. Jaman itu, itu barang mewah. Wong kayo lamo. Pake nian.

Mari Dibahas
Saat itu memang anak kimia tidak bisa menyatakan ketidaksetujuan karena kalah banyak. Temannya memilih diam karena bisa jadi mereka sedang dikejar waktu untuk praktek kimia sehingga tidak banyak waktu untuk ribut dengan lelaki iseng nggak jelas seperti kami.

Kalaupun sampai ribut mulut waktu itu bisa jadi akan mengganggu konsentrasi praktek kimia mereka di laboratorium. Ada banyak kemungkinan.

Walau demikian pernyataan dari teman di tempat kos menjadi satu peringatan kalau ada perempuan yang tidak mau disiuli atau digoda oleh lelaki. Perempuan tidak setuju. Diungkapkan setelah sekian lama. Ini poin penting.


*
Masih di titik yang sama pada waktu dan kesempatan yang berbeda. Kali ini rombongan anak kedokteran. Tahu dari mana? Bukunya. Tebal bok.

Entah kenapa aku sambil makan bakso ngomong agak kuat dengan teman-teman, kalau mereka tidak bisa menikmati hidup. "Dari hari ke hari dari text book ke text book. Dari hapalan satu ke hapalan lain. Tidak boleh salah".

Mungkin yang bikin rombongan anak perempuan kedokteran itu menoleh ketika aku berkata kalau mereka seperti mayat hidup. "Frankenstein" (novel karya Mary Shelley).

Tidak ada ribut kata. Tidak ada emosi. Mereka cuma tersenyum.

Setahun lebih lewat dan tidak ada keberatan apapun dengan pernyataan ofensif tersebut. Hanya saja waktu KKN di sebuah kabupaten aku mengenal beberapa dokter. Salah satunya dokter di kelompok kami.

Proyek sunatan massal mungkin paling epik di kelompok kami. Pasalnya, di kelompok ada anak kedokteran yang bapaknya punya apotik di Bengkulu. Obat, benang dan sebagainya aman.

Ada juga yang bapaknya ngirim motor Yamaha YT 115 Kuning sebanyak 5 biji. Kelompok yang paling rajin keliling desa ngobati warga, membantu membuat percontohan  MCK, penyuluhan hukum dan mengajari pembukan kas desa. Tiga bulan KKN sungguh singkat.

Satu bulan pulang KKN ketika main ke tempat kos teman di Jalan Supeno, ada gosip teman yang tinggal di kamar tengah kena Raja Singa. Kalau kencing sering teriak dan ngomong kotor. Wak wak wak.

Teman satu itu memang nggak bisa lihat jidat kinyis. Kamar mandi pun akhirnya main gembok-gembokan. Kamar mandinya yang tidak digembok.

Kasihan, akhirnya aku dan teman-teman  mencari teman yang sudah jadi dokter muda di M, dan akhirnya bisa berkontak. Juniornya yang datang menyuntik teman yang kena Raja Singa.

Satu waktu ketika kami makan model dengan teman di kawasan M didekati rombongan anak perempuan. Salah satu dari mereka berkata, "ini loh yang dulu bilang kita mayat hidup. Frankenstein. Rambut ini tak bisa dilupakan".

Habis kena bully deh. Masuk sarang macan. Wak wak wak. Salahku tak potong rambut, ubah gaya.

Hanya satu perempuan yang kalem. Perempuan itu bilang, "paling tidak, dia kalau tak salah kita harus tidak boleh salah dan harus baca dari satu text book ke text book. itu bae sih sisi positif budak ini. Ngingetke kito supayo dak mal praktek". (Ke depannya dia menjadi KKP)

Temannya yang lain bilang, "sembuh kan temanmu yang kena Raja Singa alias sifilis". "Masih butuh kita untuk mengobati malu".

Pembalasan yang setimpal. Mulutmu harimaumu. Ini sudah layak kuterima.

**
Mereka diam bukan berarti mereka setuju. Mereka diam karena mereka memperhatikan suasana. Mereka diam karena mereka menghitung akibat. Jangan arti kan diam dengan setuju.

Mari membaca Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dengan tenang. Kalau sudah tenang dan tetap menyimpulkan melegalkan zinah. Bisa apa. Ini demokrasi.

Pendidikan seks juga bisa disebut dengan mengajari zinah. Menjual kondom juga dapat disebut melegalkan zinah. Apalagi sampai menjual alat tes kehamilan, itu....

Zinah itu secara etik dan agama tidak boleh. Tetapi kenapa, ada yang sampai membuang bayi. Ada yang sampai membunuh pacarnya karena hamil. Ah, ingat video porno dulu yang ada label nama perguruan tinggi.

Itu sesama mahasiswa. Nah, kalau antara dosen dan mahasiswa, baik dosen lelaki dan mahasiswi atau dosen perempuan dan mahasiswa. Aku dari semalam merenungi tulisan di Kompas, halaman 6, "Predator Seksual di Kampus" oleh Sulistyowati Irianto.

Kampus adalah tempatnya beda pendapat. Kampus tempat diskusi dengan fakta dan teori yang boleh diuji. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 untuk internal yang sebenarnya tempat uji hipotesis melegalkan zinah atau tidak.

Salam Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun