"Percuma saja ngambil S2 kalau dunia kerja seperti ini". "Kompetensi dan profesionalitas tidak dianggap". "Sekarang itu enak loyalitas tanpa batas. Bisa dapat kue kekuasaan".
Pesan WA yang berkomentar mengenai Abdee Slank diangkat menjadi Komisaris Telkom cukup banyak. Tiga komentar itu paling tidak mewakili diskusi yang terjadi. Â Pro kontra pengangkatannya pasti ada. Tidak mungkin tidak. Polarisasi politik di Indonesia bukannya hilang tetapi makin jelas bentuknya. Garis mereka jelas. Di akar rumpun sudah terlihat melalui simbol-simbol apalagi di dunia maya.
Lalu kenapa baru ditulis sekarang di Kompasiana. Kebetulan baru terlecut sekarang. Apalagi ada Topik Pilihan Kompasiana mengenai peribahasa. Peribahasa itu berasal kekayaan adat budaya bangsa dan juga pengalaman orang-orang tua bijaksana zaman dulu ataupun anak muda yang sudah berpikir bijak.
Sebelum membahas peribahasa terlalu jauh ada baiknya kalau mengenal terlebih dulu pekerjaan pengirim WA. WA pertama dan  kedua ditulis, dikirim oleh seorang yang memiliki "cupu". Kebetulan memang sudah menyelesaikan S2 dengan segala usaha. Pesan ketiga dikirim oleh seorang teman swasta.
Sekarang ada kecenderungan untuk mengurusi hal-hal yang jauh. Hampir semua orang mengurusi yang jauh. Mengurusi pemerintah pusat. Mengurusi negara lain. Mengurusi pekerjaan orang lain. Banyak yang lupa mengurusi yang dekat. Lupa mengurusi pemerintah daerah. Lupa mengurusi negara sendiri. Lupa mengurusi pekerjaan sendiri bahkan lupa mengurusi diri sendiri.
Mereka yang mengurusi yang jauh tetapi lupa dengan urusan yang dekat ketika ditanya jawabannya adalah tanggung jawab. Ada lagi yang bilang sudah kewajiban untuk berpartisipasi. Inilah demokrasi kalau demokrasi harus bersuara mau dikritik.
Mari mulai dengan rekan yang memiliki cupu. Sebagai seorang yang memiliki kekuasaan di daerah dalam lingkup kecil kalau pemilik cupu ini fokus dengan pekerjaan maka dia akan melakukan evaluasi dalam wilayah kerjanya.
Apa yang menjadi kekuatannya? Apa yang menjadi kelemahannya? Â Berapa daya dukung SDM yang dimiliki? Aset penunjang pekerjaan bagaimana? Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan publik?
Kuyakin pemilik cupu tidak melakukannya karena dia sibuk mengurusi pekerjaan orang lain yang jauh dan diluar jangkauannya. Habis waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak perlu. Energi yang ada adalah energi kesal.
Mestinya, pemilik cupu harus bisa menggali potensi yang ada di daerahnya untuk bekerja lebih baik, membuat terobosan dalam pelayanan publik. Misalkan, membuat aduan sampah, membuat aduan pelayanan KTP, mempercepat pelayanan surat menyurat dan pelayanan publik yang berkaitan dengan cupu yang ada di dadanya. Jika berhasil membuat terobosan itu baru top markotop. Sudah pasti mutiara walau jauh, kerlip sinarnya pasti akan terlihat.
Persoalan menjadi kurang pas kalau ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak dijalankan, tidak membuat terobosan untuk melayani lebih baik lagi. Sibuk mengurusi kekuasaan lain. Padahal diri sendiri memiliki kekuasaan walau dalam lingkup kecil, kenapa pula mengurusi kekuasaan yang jauh yang diluar kuasanya.
Jadi tidak perlu bicara kompetensi dan profesionalitas kalau diri sendiri belum bisa mengemban amanat kekuasaan jabatan. Belajar berkompetensi diri dan profesionalitas untuk diri sendiri baru bicara menilai kompetensi dan profesionalitas orang lain.
Kalau kekuasaan sendiri tidak diurusi, dijaga dan dilaksanakan dengan baik, bisa-bisa kena tendang oleh penguasa yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Dalam konteks ini ada peribahasa yang cocok, "mengharap hujan di langit, air di tempayan ditumpahkan". Akhirnya tidak mendapat apa-apa.
Politik sekarang sepertinya menjadi panglima. Sedikit-dikit dikaitkan dengan politik dan kekuasaan. Semua menyalahkan, menimpakan kesalahan pada orang yang jauh. Padahal salah sendiri, salah orang terdekat tetapi yang disalahkan lagi-lagi yang jauh.
Mari membicarakan tulisan WA yang ketiga yang dikirimkan oleh teman yang bekerja di swasta. "Sekarang itu enak loyalitas tanpa batas. Bisa dapat kue kekuasaan".
Bermain-main dengan kekuasaan dengan mendukung suatu pasangan calon eksekutif baik di tingkat Pilkada maupun Pilpres pasti memiliki imbas politik. Imbas politik itu muncul pasca pelantikan pemenang Pilkada dan Pilpres.
Mental harus kuat, sekuat baja jika tidak, lebih baik tidak usah ikut-ikutan politik. Jangan pula ikut menyebarkan berita bohong, hoax agar orang lain berpikir lawan politik jahat dan buruk perilakunya sehingga orang mengalihkan pilihan politik.
Apakah dengan loyalitas terus mendapatkan kue kekuasaan? Tidak semudah itu Ferguso. Loyalitas itu tanpa batas dan jangan mengharapkan kue kekuasaan kalau pemain pemula. Bahasa gaulnya, "siapa kamu?". Orang akan bertanya lagi, kontribusimu apa terhadap Pilkada atau Pilpres? Itu memang pertanyaan yang menembus ulu hati. Cuma, begitulah politik. Kejam.
Orang juga tahu kok siapa yang punya massa dan kalau dalam dunia maya bin Medsos bisa disebut dengan follower, subscriber. Kalau memang ada, yakin menang bermainlah politik. Kue akan tercicipi itu pasti. Kalau tidak punya massa, follower ataupun subscriber lebih baik kalem wae.
Menjadi orang bijak dalam politik itu penting. Ada peribahasa yang bagus untuk itu, "hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai". Emang bisa memeluk gunung. Artinya ya mimpi.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H