Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Hasrat Politik dan Peribahasa

11 Juni 2021   11:38 Diperbarui: 11 Juni 2021   11:48 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat dengan Cooltext.com

Jadi tidak perlu bicara kompetensi dan profesionalitas kalau diri sendiri belum bisa mengemban amanat kekuasaan jabatan. Belajar berkompetensi diri dan profesionalitas untuk diri sendiri baru bicara menilai kompetensi dan profesionalitas orang lain.

Kalau kekuasaan sendiri tidak diurusi, dijaga dan dilaksanakan dengan baik, bisa-bisa kena tendang oleh penguasa yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Dalam konteks ini ada peribahasa yang cocok, "mengharap hujan di langit, air di tempayan ditumpahkan". Akhirnya tidak mendapat apa-apa.
Politik sekarang sepertinya menjadi panglima. Sedikit-dikit dikaitkan dengan politik dan kekuasaan. Semua menyalahkan, menimpakan kesalahan pada orang yang jauh. Padahal salah sendiri, salah orang terdekat tetapi yang disalahkan lagi-lagi yang jauh.

Mari membicarakan tulisan WA yang ketiga yang dikirimkan oleh teman yang bekerja di swasta. "Sekarang itu enak loyalitas tanpa batas. Bisa dapat kue kekuasaan".

Bermain-main dengan kekuasaan dengan mendukung suatu pasangan calon eksekutif baik di tingkat Pilkada maupun Pilpres pasti memiliki imbas politik. Imbas politik itu muncul pasca pelantikan pemenang Pilkada dan Pilpres.

Mental harus kuat, sekuat baja jika tidak, lebih baik tidak usah ikut-ikutan politik. Jangan pula ikut menyebarkan berita bohong, hoax agar orang lain berpikir lawan politik jahat dan buruk perilakunya sehingga orang mengalihkan pilihan politik.

Apakah dengan loyalitas terus mendapatkan kue kekuasaan? Tidak semudah itu Ferguso. Loyalitas itu tanpa batas dan jangan mengharapkan kue kekuasaan kalau pemain pemula. Bahasa gaulnya, "siapa kamu?". Orang akan bertanya lagi, kontribusimu apa terhadap Pilkada atau Pilpres? Itu memang pertanyaan yang menembus ulu hati. Cuma, begitulah politik. Kejam.

Orang juga tahu kok siapa yang punya massa dan kalau dalam dunia maya bin Medsos bisa disebut dengan follower, subscriber. Kalau memang ada, yakin menang bermainlah politik. Kue akan tercicipi itu pasti. Kalau tidak punya massa, follower ataupun subscriber lebih baik kalem wae.

Menjadi orang bijak dalam politik itu penting. Ada peribahasa yang bagus untuk itu, "hasrat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai". Emang bisa memeluk gunung. Artinya ya mimpi.

Salam Kompal

Dok. Kompal
Dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun