Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan hari Musik Nasional. Setiap masa ada lagunya. Setiap kejadian ada lagunya. Setiap jatuh cinta ada lagunya. Setiap patah hati juga ada lagunya.
Perempuan berwarna suara agak kelaki-lakian itu sering membacakan surat pembaca di sebuah stasiun radio. Surat yang dibacakan mulai dari surat cinta, surat kekesalan, surat putus asa, surat marah, surat menyatakan cinta dan yang paling banyak adalah surat patah hati.
Dalam pembacaannya, sang penyiar begitu menghayati pesan-pesan yang ingin disampaikan. Penyiar tenggelam bersama. Ada rasa dalam pembacaannya. Antara penyiar dan penulis sehati. Surat-surat yang dibacakan menimbulkan empati pada si penulis surat untuk bangkit.
Lagu-lagu yang mengiringi pembacaan surat dipilih agar mengikuti suasana surat. Pembacaan surat minimal dua hari setelah surat diterima atau menunggu antrian.
“Surat dari sahabat” itulah segmen acara yang dibawakan oleh perempuan bersuara “ngebass.” Nama udaranya adalah Alex. Suara renyah dan pembawaan tenang membuat imaji pendengar berenang di kolam khayal mengenai rupa Alex. Tapi tak membuat hamil.
Di kawasan bedeng para mahasiswa ABS (baca : anak buntu sepanjangan) di tepi sungai, suaranya sangat ditunggu Rabu malam dan Sabtu malam. Pukul 19.30 sampai 20.30. Tujuh lelaki yang tinggal di tujuh bedeng itu akan mandi sore dengan cepat dan akan membawa makan malam mereka di teras bedeng. Begitupun dengan tugas kuliah yang mesti diselesaikan besok.
Suara Alex yang ngebass dan pandai memainkan intonasi dan juga volume musik yang menjadi latar belakangnya membuat tujuh pria dengan tiga diantaranya sudah memiliki pacar itu menjadikan Alex sebagai “kekasih gelap” dalam artian rindu gelap.
“Selingkuh suara,” kata Firmansyah kelahiran Jakarta tetapi ibu dari Pagaralam.
Bedeng tepi sungai itu senyap. Suara jangkrik terdengar jelas mulai menyanyi. Bukan itu yang ditunggu tetapi warna suara Alex yang ditunggu.
Suara bass dan renyah meleleh membuat beberapa lelaki di bedeng berusaha mencari tahu perempuan itu lebih dalam. Mereka mencari tahu siapakah Alex.
Seorang lelaki berkulit hitam tapi manis, Antariksa berujar, “Kalau mau jadi pacar… aku akan jadi lelaki paling beruntung. Tuhan tolonglah….”
Lelaki dari Toba bahkan lebih haru lagi. “Akan kujadikan istri kalau tinggi putih dan cantik walaupun inang memarahiku.”
Alex malam itu membuat tujuh lelaki menghentikan aktivitas makan dan juga mengerjakan tugas untuk dikumpul besok. Lagu Dian Pramana Poetra, “Kau Seputih Melati” menjadi pembuka.
“Kau bunga di tamanku
Di lubuk hati ini.
Mekar dan kian mewangi
Melati pujaan hati ….”
Surat seorang pembaca yang jatuh cinta pada seorang perempuan. Si perempuan telah mewarnai hidupnya sehingga penuh warna dan bersemangat menjalani hidup. Namun, dia lelaki hanyalah lelaki yang hanya berani berkelahi di lapangan bola, daripada berhadapan dengan pujaan hati dan menyatakan cinta. Hmm… tampang Rambo tapi hati Rinto….
Suatu sore, enam lelaki dengan tiga sepeda motor menyusuri jalanan di Kecamatan Ilir Timur 2 mencari tahu alamat radio tempat Alex menaburkan suara ngebassnya. Patokan mereka adalah tiang tinggi pemancar dan antena.
Keenam lelaki ini tidak mengetahui kalau Alex itu sudah meminta kepada pimpinan radio dan seluruh staf untuk merahasiakan jati dirinya. Kecuali nama, ya hanya nama udara yang boleh diinformasikan selain itu tidak boleh. Titik.
Bahkan ketika ada penggemarnya yang kebelet pengen ketemu dengan Alex, mendatangi stasiun ketika acara baru mulai dan menunggunya hingga acara selesai. Penggemar itu gigit jari karena Alex rela tak pulang usai acara dan memilih pulang dini hari daripada menemui pemujanya itu.
Jadi ketika mereka sampai dan mencari tahu siapa sesungguhnya Alex. Mereka hanya mendapatkan nama. Tidak lebih dan tidak kurang. Keenam lelaki yang tenggelam dalam kecewa itupun akhirnya membunuh sore di Pasar Kuto. Menikmati kopi pahit ditemani sate kerang dan pempek tunu alias pempek panggang.
Alex memang misteri. Dia sengaja membangun brand misteri. Itulah yang membuat Alex mempesona pendengarnya. Bahkan teman kuliahnya pun tidak ada yang tahu kalau Alex adalah penyiar radio pembawa acara “Surat dari Sahabat.”
Suatu sore, Antariksa tengah menikmati desiran angin sore, jelang gelap terhenyak di kursi batu pinggir fakultasnya. Mengenali suara khas yang ditunggunya setiap siaran membaca Surat dari Sahabat. Suara itu berasal dari perempuan yang memakai jas laboratorium, memiliki warna suara yang mendekati suara Alex.
Entah, virus apa yang menjangkiti Antariksa sehingga merasa yakin kalau perempuan yang memakai jas laboratorium itu adalah Alex.
Antariksa reflek berlari mengejar perempuan yang memisahkan diri dari teman-temannnya menuju ke sedan Timor warna kuning yang menjemputnya. Antariksa pun tak sengaja berseru “Alex”.
Tubuh Alex langsung menggigil dengan seruan itu. Langkah kakinya terhenti. Detak jantungnya langsung kencang. Dalam hitungan detik dunia seakan berubah. Siapakah yang memanggil namanya di luar ruang studio radio?
Cepat menguasai diri, Alex membalik badannya. Dua mata berpadu. Antariksa gelagapan ketika ternyata orang yang dipanggilnya membalik badan. Dua anak manusia itu terpisah jarak, hanya dua meter. Saling tatap. Tidak ada yang mau mengalah ataupun mengalihkan pandangan. Dunia pun serasa berhenti berputar.
Pintu kaca mobil Timor itu terbuka dan seorang perempuan paruh baya berteriak, “Sandra cepetan. Kita nanti terlambat.”
Alex berujar, “maaf kamu salah orang.” Bohong kalau dirinya dan suaranya tak bergetar. Jelas diri dan suaranya bergetar.
Antariksa seperti seakan kembali terhipnotis dengan suara Alex. “ Iya… mungkin aku salah orang. Kamu anak kimia. Pergilah. Ibumu sudah memanggilmu,” kata Antariksa tergetar.
Alex membalikkan badan. Antariksa seperti terpaku ke bumi.
Dirinya pun menyusuri sungai dengan berjalan di talud sungai untuk sampai ke bedeng. Pikiran Antariksa kalut. Ada getar. Ada sesuatu yang mengikatnya. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa melepaskan perempuan yang dipanggil Sandra tadi tetapi dirinya memanggil Alex.
Usai mandi pun Antariksa masih tak bisa melupakan wajah dan tatapan perempuan yang berani menatapnya. Tak mau kalah. Pantang menyerah. Seperti itulah perempuan itu. Pikiran. Harapan. Mimpi Antariksa membuncah.
“Jangan banyak melamun. Emak di kampung sudah pusing ngirimi wesel. Besok mid semester. Jangan ngelamun apalagi tidur ngiler. Pak Tri tak peduli dengan lamunan kau tu.” kata Firmansyah.
Antariksa masuk ke kamar dan belajar di kamar. Keenam temannya pun tertawa ngakak. “Woooo yang lagi jatuh cinta. Atau cinta bertepuk sebelah tangan,” teriak temannya.
Sebenarnya bukan hanya Antariksa yang gundah. Alex pun gundah di dalam mobil. Bertanya siapakah lelaki yang memanggil namanya? Kenapa dia bisa tahu? Padahal stasiun radio sudah menutup soal jati dirinya.
Alex juga sepertinya mendapat lawan sepadan. Mata lelaki itu menyorot tajam. Tak mau mengalah. Menghujam ke hatinya yang selama ini beku. Beku laksana es di antartika, pasca teman sma dekatnya meninggal overdosis narkoba.
Selama tiga minggu Antariksa setiap sore memilih untuk duduk di kursi batu. Menunggu Alex atau Sandra turun dari laboratorium. Penantiannya pun akhirnya terwujud.
Alex turun sambil menyibakkan rambutnya yang panjang lurus. Matanya mengacuhkan sekeliling. Matanya tertuju ke sebuah buku. Alex duduk di kursi batu kurang lebih tiga meter dari Antariksa yang juga sedang duduk sendirian.
Antariksa sudah nekat, tak mau melepaskan sebelum mendapatkan nama dan juga nomor telepon. Berjalan berlahan dan memilih duduk di kursi batu yang berhadapan langsung dengan Alex.
“Hai, selamat sore. Saya Antariksa. Anak Fisip,” katanya menyodorkan tangan dengan percaya diri.
Alex terdiam melihat keberanian Antariksa. Alex kembali menatap tajam mata Antariksa. Setelah tiga detik tak ada yang mengalah. Justru tubuhnya berdesir. Alex menyodorkan tangannya. “Sandra. Anak TekKim.”
Obrolan mengalir seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Sepertinya klop. Wajah Sandra tetiba berubah setelah melihat jam tangan Casio klasiknya.
“Tidak dijemput. Izinkan aku mengantarkanmu. Angkot sore gini sudah agak susah,” tawar Antariksa.
Wajah Sandra makin tegang. Pagi tadi memang ibunya bilang kalau jam tiga belum dijemput, langsung pulang naik angkot. Lah, ini sudah jam setengah enam sore. Sandra agak sedikit menyesal karena tertawan oleh ajakan ngobrol Antariksa.
Tanpa meminta persetujuan Sandra, Antariksa meminta agar menunggunya sebentar karena akan mengambil motor di fakultas. Lagi-lagi Sandra tidak bisa mengelak apalagi menolak.
Kurang dari lima menit Antariksa sudah duduk di sepeda motor RX Spesial menunggu Sandra turun dari bukit. Sandra menggigit bibirnya, sambil melangkah turun bicara dengan diri sendiri. “Ada apa dengan diriku. Kenapa aku menurut saja dengan lelaki yang baru dikenal ini.”
“Aku antar ke mana perempuan cantik pintar dan punya suara cakep,” tanya Antariksa sambil memberikan helm.
Sambil memakai helm. Sandra duduk di belakang. Sandra masih belum bisa mikir.
Antariksa menarik kopling dan memindahkan gigi dengan mulus dan tarikan gasnya lembut. Motor yang memiliki daya akselerasi yang yahud ini dengan cepat meninggalkan kampus. Memasuki tengah kota, Sandra masih belum memberikan jawaban akan ke mana. Sebaliknya Antariksa justru menikmati sore ini dengan hatinya yang sedang berbunga.
Di lampu merah Charitas, Sandra baru buka suara. “Kita ke Jalan Kutilang.” “Beritahu aku jalannya,” jawab Antariksa. Motor itu melewati angkot hijau yang penuh sesak kalau sore. Meliuk-liuk melewati Rajawali dan masuk ke Kutilang.
Antariksa tercekat. Sebuah rumah berpagar tinggi ada di hadapannya. Sandra turun dan membuka helm dan menggeraikan rambutnya. Sebuah momen yang paling disukanya.
“Terima kasih.” “Kamis aku di laboratorium lagi. Cuma aku nggak tahu apakah dijemput atau tidak. Bila bersedia menunggu di kursi batu, silahkan.”
“Oke,” jawab Antariksa yakin. Walau tak tahu ada kuliah sore atau tidak, tetapi terserahlah. “Ia” kan dulu.
Entah siapa yang menembak duluan. Entah ini disebut pacaran atau bukan. Entahlah.
Tiba-tiba meluncur kisah dari bibir Sandra seolah sebuah pengakuan dosa di hadapan Antariksa. “Aku Alexandra. Aku Alex pembawa acara Surat dari Sahabat. Di rumah dan teman kuliah memanggilku Sandra. Aku minta agar kau menjaga rahasia ini. Ada sesuatu yang membuat kerahasian ini harus dijaga. Aku punya masa lalu. Aku menjadi penyiar radio karena ingin berguna bagi pendengar, masyarakat. Aku ingin menjadi katup sosial penyelamat. Jangan seperti teman SMA ku yang tak tertolong, mati overdosis. Terima aku apa adanya. Kalau tak bisa tinggalkanlah aku sekarang sebelum semuanya terlalu sakit untuk dikenang,” kata Alex… eh… Sandra… Alexandra.
Melalui Surat dari Sahabat, Alex membantu mereka yang sedang patah hati agar kuat menjalani hari. Membantu mereka yang sedang jatuh cinta agar menjaga cinta. Membantu yang malas belajar dengan mengingatkan perjuangan bapak ibu, mamang bibik serta pengorbanan adik kakak di dusun agar wesel tetap lancar terkirim. Membantu mereka yang belum punya pacar untuk tetap optimis.
Mulut Antariksa terkunci. Hanya mata yang menatap mata Alex.
Suatu sore seusai gerimis di kursi batu “Aku tak tahu apakah hubungan ini bertahan sebulan, tiga bulan, tiga tahun, 15 tahun. Kalau sudah 30 tahun itu baru teruji,” tutur Alex.
Jawaban Antariksa diplomatis. “Kita jalani saja. Aku berusaha untuk menjaga hati ini dan diri ini sebulan, tiga bulan, tiga tahun, 15 tahun dan 30 tahun hanya untukmu… Alexandra.”
Setiap masa ada lagunya. Setiap kejadian ada lagunya. Setiap jatuh cinta ada lagunya. Setiap patah hati juga ada lagunya. Apalagi kalau cemburu banyak lagunya. Pilihlah lagu sesuai dengan suasana hatimu.
Untuk siaran malam ini Alex sudah memilihkan lagu yang cocok untuk “kami” …
Nothing’s gonna change my love for you…
You ought to know by now how much I love you…
Mengenang seorang perempuan yang nun jauh di sana yang hidupnya penuh harapan, cinta dan bahagia. Perempuan itu pernah kucemburui bukan kucumbui karena aku cemburu dengan pilihan lagunya di Jalan Lintas Sumatra.
(0)(U)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis marathon kompasiana.
#TimPempekPanggang: Bimo Rafandha, Koh Deddy Huang dan Mang Edi Susanto.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H