Antariksa reflek berlari mengejar perempuan yang memisahkan diri dari teman-temannnya menuju ke sedan Timor warna kuning yang menjemputnya. Antariksa pun tak sengaja berseru “Alex”.
Tubuh Alex langsung menggigil dengan seruan itu. Langkah kakinya terhenti. Detak jantungnya langsung kencang. Dalam hitungan detik dunia seakan berubah. Siapakah yang memanggil namanya di luar ruang studio radio?
Cepat menguasai diri, Alex membalik badannya. Dua mata berpadu. Antariksa gelagapan ketika ternyata orang yang dipanggilnya membalik badan. Dua anak manusia itu terpisah jarak, hanya dua meter. Saling tatap. Tidak ada yang mau mengalah ataupun mengalihkan pandangan. Dunia pun serasa berhenti berputar.
Pintu kaca mobil Timor itu terbuka dan seorang perempuan paruh baya berteriak, “Sandra cepetan. Kita nanti terlambat.”
Alex berujar, “maaf kamu salah orang.” Bohong kalau dirinya dan suaranya tak bergetar. Jelas diri dan suaranya bergetar.
Antariksa seperti seakan kembali terhipnotis dengan suara Alex. “ Iya… mungkin aku salah orang. Kamu anak kimia. Pergilah. Ibumu sudah memanggilmu,” kata Antariksa tergetar.
Alex membalikkan badan. Antariksa seperti terpaku ke bumi.
Dirinya pun menyusuri sungai dengan berjalan di talud sungai untuk sampai ke bedeng. Pikiran Antariksa kalut. Ada getar. Ada sesuatu yang mengikatnya. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa melepaskan perempuan yang dipanggil Sandra tadi tetapi dirinya memanggil Alex.
Usai mandi pun Antariksa masih tak bisa melupakan wajah dan tatapan perempuan yang berani menatapnya. Tak mau kalah. Pantang menyerah. Seperti itulah perempuan itu. Pikiran. Harapan. Mimpi Antariksa membuncah.
“Jangan banyak melamun. Emak di kampung sudah pusing ngirimi wesel. Besok mid semester. Jangan ngelamun apalagi tidur ngiler. Pak Tri tak peduli dengan lamunan kau tu.” kata Firmansyah.
Antariksa masuk ke kamar dan belajar di kamar. Keenam temannya pun tertawa ngakak. “Woooo yang lagi jatuh cinta. Atau cinta bertepuk sebelah tangan,” teriak temannya.