Sebenarnya bukan hanya Antariksa yang gundah. Alex pun gundah di dalam mobil. Bertanya siapakah lelaki yang memanggil namanya? Kenapa dia bisa tahu? Padahal stasiun radio sudah menutup soal jati dirinya.
Alex juga sepertinya mendapat lawan sepadan. Mata lelaki itu menyorot tajam. Tak mau mengalah. Menghujam ke hatinya yang selama ini beku. Beku laksana es di antartika, pasca teman sma dekatnya meninggal overdosis narkoba.
Selama tiga minggu Antariksa setiap sore memilih untuk duduk di kursi batu. Menunggu Alex atau Sandra turun dari laboratorium. Penantiannya pun akhirnya terwujud.
Alex turun sambil menyibakkan rambutnya yang panjang lurus. Matanya mengacuhkan sekeliling. Matanya tertuju ke sebuah buku. Alex duduk di kursi batu kurang lebih tiga meter dari Antariksa yang juga sedang duduk sendirian.
Antariksa sudah nekat, tak mau melepaskan sebelum mendapatkan nama dan juga nomor telepon. Berjalan berlahan dan memilih duduk di kursi batu yang berhadapan langsung dengan Alex.
“Hai, selamat sore. Saya Antariksa. Anak Fisip,” katanya menyodorkan tangan dengan percaya diri.
Alex terdiam melihat keberanian Antariksa. Alex kembali menatap tajam mata Antariksa. Setelah tiga detik tak ada yang mengalah. Justru tubuhnya berdesir. Alex menyodorkan tangannya. “Sandra. Anak TekKim.”
Obrolan mengalir seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Sepertinya klop. Wajah Sandra tetiba berubah setelah melihat jam tangan Casio klasiknya.
“Tidak dijemput. Izinkan aku mengantarkanmu. Angkot sore gini sudah agak susah,” tawar Antariksa.
Wajah Sandra makin tegang. Pagi tadi memang ibunya bilang kalau jam tiga belum dijemput, langsung pulang naik angkot. Lah, ini sudah jam setengah enam sore. Sandra agak sedikit menyesal karena tertawan oleh ajakan ngobrol Antariksa.
Tanpa meminta persetujuan Sandra, Antariksa meminta agar menunggunya sebentar karena akan mengambil motor di fakultas. Lagi-lagi Sandra tidak bisa mengelak apalagi menolak.