Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menunggu Kebijakan Revolusioner Nadiem

25 November 2019   18:38 Diperbarui: 25 November 2019   18:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Tempat Pengambilan Film Laskar Pelangi I Foto: OtnasusidE

Kalau ada orang jujur berkata, "Biasanya tradisi Hari Guru dipenuhi oleh kata-kata inspiratif dan retorik. Mohon maaf, tetapi hari ini pidato saya akan sedikit berbeda. Saya ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia dari Sabang sampai Merauke".

Apa yang ada di benak pembaca Kompasiana imajiner. Ada yang tersentak. Ada yang itu juga retorika. Atau sudahlah itu juga nggak ngaruh di kota apalagi di pelosok nun di perbukitan apalagi di pegunungan.

Lantas kalau ada orang jujur berkata, "Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia".

Apa yang ada di benak pembaca Kompasiana imajiner, berubah itu bisa hanya butuh keberanian dan pengorbanan. Kalau tidak ada keberanian dan pengorbanan sutralah.

Lantas kalau ada orang jujur berkata, "Besok, di mana pun anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas anda.  Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar. Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas. Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas.  Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan".

Apa yang ada di benak pembaca Kompasiana imajiner, aturan yang membelenggu guru itu banyak. Belum lagi urusan sertifikasi. Belum lagi berjuang agar anak didik lulus di ujian nasional.

Seorang perempuan cantik dari dunia maya turun. Bangun. Bangun. Bangun.

Aku gelagapan dan aku pun mengamini apa yang disampaikan oleh Pak Nadiem.  Loh,  itu tadi imajiner. Aku nggak mungkin ada di kantor kementerian yang dipimpin Pak Nadiem.  Lah  wong,  aku di dusun di Puncak Bukit Barisan Sumatra.

Pak Nadiem. Surat Bapak bikin aku terharu. Surat Bapak itu mengajarkan aku untuk memulai harus dari diri sendiri. Anak murid itu anggap anak sendiri. Anak itu bisa anak biologis, bisa anak angkat, bisa anak pengadilan, bisa juga karena baptis. Jadi anak itu bisa karena sistem pengajaran.

Surat Bapak aku pahami sebagai bentuk dari perlawanan terhadap birokrasi. Namun, perlawanan bapak sungguh manis. Tidak secara frontal. Pasti dalam beberapa bulan ke depan akan ada kejutan aturan perundang-undangan ataupun revolusi dalam pendidikan.

Perlawanan yang Bapak sampaikan adalah perlawanan untuk memulai segala sesuatu dari guru, dari pendidik yang berhadapan langsung dengan anak murid. Kalau gurunya saja tidak mau melangkah untuk berubah dengan alasan ekonomi dan fasilitas pendukung maka "matilah" sekolah tersebut. Artinya kesederhanaan guru dan fasilitas yang minim tempat anak berkegiatan belajar tanpa kenal menyerah hanya ada di Laskar Pelangi, tidak ada di dunia nyata.

Menjadi seorang guru itu bukan pekerjaan. Menjadi seorang guru itu adalah mengorbankan diri untuk menjadikan anak orang lain yang sudah dianggap sebagai anak sendiri untuk berhasil berkembang mencapai cita-citanya.

Setelah itu dilupakan, memang sudah nasib guru. Memang waktu ngajar disosialisasikan kamu kalau sudah besar atau menjadi orang hebat kamu harus ingat dan balas jasa gurumu. Tidak kan! Kalau ada mantan murid yang masih ingat dengan gurunya itu bonus. Kalau tidak, ikhlaskanlah.

Berhentilah membombardir narasi kesejahteraan guru kurang. Silahkan datang ke daerah perairan di Banyuasin dan atau ke OKI. Atau tak usah jauh-jauh. Datanglah ke kantor UPTD Dikbudcam atau ke sekolah-sekolah di perkotaan/kabupaten. Para guru, penilik sekolah dan pengawas sekolah itu pakai mobil dan motor yang harganya lumayan. Boleh juga ke kantor Diknas provinsi/kabupaten.

Kebijakan untuk kesejahteraan guru itu harus parsial. Mereka yang kurang sejahtera adalah guru honor yang banyak mengajar di daerah-daerah terpencil. Kalau mereka yang sudah diangkat jadi ASN dipastikan sejahtera apalagi kalau mereka sudah tersertifikasi.  Lah,  surat sudah  sekolah  di bank saja mereka masih bisa makan.

Kenapa guru banyak di kota sedikit di desa apalagi di daerah terpencil. Jawab kenapa? Walaupun sudah ada perjanjian, para guru itu bisa pindah ke kota. Dengan alasan permintaan pejabat  anu, masih keponakan  inu, pokoknya lobi penguasa jadinya guru banyak di kota, sedikit di daerah jauh.

Silahkan lihat datanya. Guru TK, SD, SMP itu wewenang kabupaten kota dan guru SMU sederajat itu wewenang provinsi.

Lalu bagaimana dengan organisasi profesi guru? Apakah dalam pengambilan kebijakan mereka diikutsertakan? Padahal mereka punya aset yang besar.

Angkatlah guru dari daerah sekitar tempat wilayah mereka. Kalaupun harus sekolah lagi untuk menambah ilmu, mereka harus balik lagi. Cintailah dan bangunlah desa.  Itu narasi klasik. Semoga tidak. Ada kekuasaan yang tegas dan tak goyah oleh lobi, itulah penjaganya.

Pak Jokowi itu gila. Orang gila kerja. Berani angkat Pak Nadiem jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Banyak orang ragu loh.  Tapi itu bukan aku.

Aku juga yakin  kok  Pak Nadiem tidak sendiri di pusaran pengambilan keputusan. Ada staf khusus presiden, Belva Syah Devara itu  loh  CEO Ruang Guru, masih muda dan pikirannya kreatif untuk memajukan pendidikan.

Hari ini Hari Guru. Selamat Hari Guru untuk guru-guruku baik guru formal maupun informal. Bahkan anakku pun sekarang ini menjadi guruku karena ingat loh, belajar itu bisa kepada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Mang bangun! Bangun Mang! "Kolam kito kemasukan tigo biawak".

Aku pun meloncat. Anak kolam tertawa ngakak. "Ai mamang ni bangun kalau sudah diteriaki biawak masuk kolam. Tadi ada penggemar mamang datang. Mamang sudah kubanguni tapi  bangun ayam,  terus tidur lagi."

Mata tertuju pempek dos.  Duh, jadi dari tadi itu cuma mimpi.

Aku menunggu keputusan revolusioner birokrasi dari Pak Nadiem. Sebuah kebijakan publik yang  out of the box.  Keputusan yang butuh payung hukum. (Sumber: Kompas, hal. 1. 25 November 2019)

"Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia." Nadiem Makarim (Sumber: Kompas.com)

Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra

Salam Kompal

dok. kompal
dok. kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun