Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ramai-ramai Pindahkan Pabrik ke Jateng

19 November 2019   11:27 Diperbarui: 19 November 2019   19:32 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kotak Sepatu I Foto: OtnasusidE

Tutup pabrik dan memindahkan pabrik ke tempat yang lebih kondunsif secara ekonomi adalah pilihan tepat yang paling masuk akal. Tidak perlu banyak teori ekonomi ini itu atau pertimbangan politik hanu hini pasti akan dilakukan oleh para pemilik modal. Itu pilihan sederhana siapapun yang punya insting bisnis.

Pabrik di Banten banyak tutup. Pabrik di Jabar banyak tutup.  Eh,  hengkangnya ke mana, ke Jawa Tengah. Sungguh itu pilihan untuk menekan biaya produksi. (Sumber satu dan dua)

Daya saing. Daerah yang memberikan kemudahan dan secara struktur sosial antropologi ekonomi serta politik bersinergi untuk membangun daerahnya yang pasti akan banyak dimasukin investor.

Upah merupakan faktor penting tetapi soal keamanan sosial juga menjadi pertimbangan lain yang juga penting. Inilah dilemma yang sebenarnya harus menjadi pertimbangan utama untuk pekerja sebelum melakukan tindakan meminta kenaikan upah, demo, pungli dan juga tekanan sosial. Pelaku pabrikan itu adalah pekerja, pengusaha dan pemilik modal plus pemegang kekuasaan politik.

Kalau mereka memindahkan pabrik lalu para pekerja mau marah? Silakan. Kalau mereka memindahkan pabrik lalu para pemegang kekuasaan kecewa? Silakan. Pengusaha dan pemilik modal tentu mau untung. Dan berusaha yang tenang. Itu sudah hukum ekonomi non ruwet yang pasti akan terjadi dan dicari.

Warung makan sekitar pabrik. Tempat kos alias kontrakan sekitar pabrik. Warga sekitar pabrik adalah mereka yang akan terkena dampak langsung dari penutupan pabrik. Paling apes adalah pekerja pabrik yang pasti tak lagi memiliki pendapatan bulanan apalagi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Di zaman dulu dalam industri sangat terlarang adanya demo apapun alasannya. Bila ada masalah maka lembaga Tripartit yang akan turun. Itupun kekuasaan pemerintah sangat besar. Makanya  adem ayem gayeng  industri berkembang.

Saat ini demo penyuaraan kenaikan upah semakin intens berikut dengan fasilitas penunjang lainnya.  Pelaku usaha dan pemilik modal jelas ketar ketir.

Mereka yang masih cinta dengan Indonesia biasanya akan mencari alternatif terhalus memindahkan pabrik ke daerah yang memang memberikan insentif penanaman modal. Menjamin secara sosial antropologi ekonomi dan politik.

Bagi yang sudah nggak kuat lagi pilihan terbaik adalah hengkang. Mencari negara lain yang memberikan berbagai macam insentif untuk modal yang masuk. Vietnam, Kamboja dan Thailand serta Malaysia merupakan surga investor.

Persaingan hasil produksi itu sangat ketat. Untuk menekan biaya produksi, upah adalah salah satunya tetapi pajak dan juga insentif lainnya bisa juga menekan biaya produksi. Jadi jangan heran kalau sekarang sudah jarang pabrik sepatu bermerek berlabel buatan Indonesia. Itu baru sepatu belum dengan kaos dan juga kemeja.

Lalu apakah demo menyuarakan hak politik dan demo menyuarakan kesejahteraan pekerja tidak boleh. Bolehlah tetapi apakah harus dengan demo? Nah, mari direnungkan dengan jernih.

Beberapa tahun lalu sempat heboh, pabrik elektronik ternama menutup pabriknya di Indonesia dan memindahkannya ke negara tetangga. Pelaku ekonomi dan politik pun sempat heboh. Sekali lagi itu memang konsekuensi dari daya saing produk plus daya saing memikat investor.

Seorang teman di pondok kopi berkelakar. "Mang gawe tu sederhana saja. Warung yang jual gorengan tiga dua ribu pasti lebih rame dibandingkan warung yang menjual gorengan satu seribu rupiah."

Woiii  itu bukan apple to apple  kenapalah mesti apple to apple  tidak durian dengan durian membandingkannya. Becanda. "Mang lihat substansinya. Jangan lihat sepatu, kaos, kemeja dan barang elektronik dengan mata gorengan tiga dua ribu rupiah apalagi dengan pempek dos pistel seribu perak pelepas rindu."

Waduuuuhhhh.

Sudahlah. Teman lainnya pun tersenyum mengingat ada orang penelitian mengenai Hubungan Industrial Pancasila di Palembang lebih dari tiga dekade lalu. Apakah masih ada Hubungan Industrial Pancasila? Apakah masih ada lembaga Tripartit untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan? Penelitinya telah hilang terlebur zaman karena membuat DNA baru.

Ngarep  diundang Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk melihat kehidupan industri di Jateng.  Eh  ini ngarep beneran. Kompasiana do your magic.

Salam belajar di tiap dekade.
Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra.
Salam Kompal

kompal-5dd36900d541df138e749262.jpg
kompal-5dd36900d541df138e749262.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun