Lelaki itu sering kali hilir mudik dengan menggunakan pesawat Jakarta Palembang pulang pergi. Dalam satu bulan minimal 4 kali terbang. Mulai dari punggung Bukit Barisan Sumatra sampai ke landasan pacu di mana ada bunker Jepang yang tak bisa dibongkar. Menunggu sebentar dan kemudian terbang lagi untuk melihat tiga matanya yang sedang lucu-lucunya.
Lelaki itu sangat membanggakan kotanya. Kota yang penuh dengan romantika. Kota yang pernah membuat negeri-negeri tetangga ternganga dengan kemajuan pendidikan dan kebesaran para pemimpinnya. Walaupun beberapa waktu lalu kotanya pernah disebut sebagai kota sejarah yang fiktif oleh seseorang.
Ah sudahlah. Biarpun disebut fiktif tetapi peninggalan-peninggalan sejarah mengenai kerajaan dulu yang pernah ngetop hingga ke negeri jiran bahkan sampai ke Tiongkok ada dan tersebar dalam daerah yang sangat luas. Semoga saja peninggalan-peninggalan sejarah itu tetap dipelihara dan seiring waktu dengan kemajuan teknologi akan menguaknya sebagai bentuk penghormatan pada perjalanan negeri ini.
Bolehkan bangga dengan kota sendiri. "Kalau kita tidak bangga dengan kota sendiri lalu siapa lagi yang akan membanggakannya?" ungkapku suatu waktu pada ketiga mataku. Di sebuah sudut teras yang berhadapan dengan Tugu Tani.
Salah dua dari tiga mata memang lahir di kota yang terbelah oleh Sungai Musi. Satu mata lahir di ibu kota. Ketiganya walau berlogat lu gue, lu gue tetapi kalau di rumah emaknya pakai bahasa dusun.
Kota yang disebut kerajaan fiktif ini sudah menyelenggarakan berbagai even olah raga internasional. Kelas dunia brother and sister. Dan satu yang bikin bangga dari semua itu adalah kota ini pertama kali di luar Jawa mengadakan PON. Even nasional dan regional bahkan internasional terus bergerak dengan memaksimalkan fasilitas olahraga yang ada.
Satu hal yang membuat sensasi adalah LRT. Yups, kereta ini berjalan di atas jalan-jalan dalam kota. Sebuah sensasi yang seakan mimpi dulu kalau dipikir-pikir. Kini malah menjadi kenyataan karena LRT di angan dan kemudian dipikir lalu dieksekusi.
Diejek, biasa. Dituduh, biasa. Tidak butuh. Belum perlu, loh kapan lagi mau membangunnya.
Musim haji lalu, ketika pulang, kebetulan naik pesawat siang, kami naik LRT dari bandara. Sungguh terkejut kami ketika berbicara dengan penumpang di sebelah. Dia berasal dari Kota Agung Lahat, sekarang menetap di Jambi. Pulang ke Palembang karena mengantarkan ayuk yang naik haji ke Asrama Haji.
"Kapan lagi naik LRT. Ini nyoba sampai Jakabaring, nanti balik lagi ke Asrama Haji," katanya.
Ada stiker besar di tiap-tiap pintu masuk dan keluar kereta, yang berisi larangan-larangan di dalam LRT. Salah satunya dilarang makan dan minum. Satu dua kali kami pernah menjumpai orang yang membawa minuman dan minum di kereta. Dengan sigap, petugas keamanan menegur agar tidak minum dan makan di dalam kereta.
Budaya dan aturan di LRT memang perlu terus disosialisasikan agar kita menjadi disiplin dalam menjaga dan memanfaatkan angkutan publik. Inilah LRT pertama di Indonesia bukan di ibu kota, bukan di Jawa tetapi di salah satu kota yang terus berkembang di Sumatra.
LRT itu dulu sepi. Ah, karena memang segala sesuatu yang baru itu butuh waktu. Sekarang sudah lumayan. Bahkan sore lalu, ketika turun dari pesawat, kami harus berkejar-kejaran naik eskalator untuk ke Stasiun Bandara. Dan wow ternyata LRT terakhir dari bandara sekitar pukul 19.00.
Ketika berhenti di stasiun-stasiun ternyata banyak pekerja juga yang memanfaatkan LRT untuk pulang ke rumah. Adem dan santai. Bayaran maksimal sepuluh ribu perak. Bayaran minimal lima ribu perak. Turun di stasiun terdekat dan bisa nyambung lagi pakai onjol untuk sampai depan rumah.
Berpikirlah maju ke depan dan ambillah resiko yang sudah diukur. Beraksilah. Bermanfaatlah bagi sekitar.
Lelaki itu mengirim WA ke istrinya, "Cintaku, masih ada LRT yang lewat."
"Duh, kamu kan juga sudah naik MRT," balas istrinya.
Tulisan receh ini kupersembahkan untuk tiga mata.
Salam dari puncak Bukit Barisan Sumatra
Salam Kompal