Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cintailah Anakmu dengan Sederhana

23 Juli 2019   12:00 Diperbarui: 23 Juli 2019   12:10 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Main Sepeda | Foto: OtnasusidE

Ada sebuah perjanjian dulu ketika kaki kupu-kupu ingin melanjutkan sekolah lagi. Selelah-lelahnya pulang kuliah dan sebuntu-buntunya ekonomi rumah tangga semua harus dihadapi dengan tenang. Jangan pernah tersambar pada anak.

Emosi capek. Emosi buntu alias  katek duit.  Bisa campur aduk. Bisa sangat membahayakan kalau tidak dikelola dengan baik. Anak bisa menjadi sasaran empuk untuk pelampiasan segala beban. Memarahi anak bisa bablas sebagai bentuk pelepasan emosi.

Mulai dari memarahi anak karena tidak mau belajar. Tidak mau mandi. Tidak mau belajar. Memarahi pada awalnya sebagai kerangka disiplin lalu menjadi tuman sebagai bentuk penyaluran emosi. Satu waktu pasti tidak bisa terkontrol karena anak tidak ada perlawanan dan kabar duka cita tinggal menunggu.

Kisah Arie Hanggara pertengahan tahun 80-an menyedot perhatian publik. Arie tewas disiksa oleh kedua orang tuanya. Sungguh, ternyata kalau dilihat jejak digital di tahun 2019 ini, ada begitu banyak Arie lain yang tewas mengenaskan dengan berbagai variasi untuk menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Ini dilakukan ibu, klik pranala. Ini dilakukan bapak, klik pranala. Dan masih banyak lagi.

Selain mati secara memilukan. Tak kalah sadis, anak dieksploitasi. Disuruh mengemis. Ketika hampir semua temannya sekolah. Anak dibawa untuk mengemis sebagai cara mencari empati. Anak disuruh jualan agar menarik belas kasih berlebih. Sungguh orang dewasa itu maha kreatif untuk menjual anaknya ataupun anak-anak untuk meraup keuntungan ekonomi.

Apa yang ada dalam pikiran, hati orang tua ketika hanya punya uang untuk makan tiga hari dan ongkos, sedangkan sang anak minta dibelikan es krim? Apa yang ada dalam benak orang tua  ketika seorang anak memakai gaya bahasa, "enak ya Buk anggur. Baru sekali aku makan anggur diberi oleh si ...," kata anak.

Peluklah anak itu. Merangunglah dalam hati atas nama cinta Sang Pemberi Kehidupan. Janjikanlah dengan berbisik suatu waktu kalau ada uang maka kau akan mencicipinya lagi. Jangan marah apalagi sampai malu kalau saat itu memang kita tak mampu.

Satu cerita menggelitik ketika seorang bapak menyisihkan uang makannya untuk membelikan Es Krim Magnum yang dulu sangat dahsyat. Ketika uang terkumpul ternyata es krimnya habis. Butuh tiga hari dan setiap sore usai pulang kerja, bapak itu selalu menjelajah toko-toko untuk mencari  Magnum. Ketika melihat anaknya menikmati Magnum. Ada yang lepas dalam dirinya. Bahagia. Beban itu, janji itu terlaksana.

Ketika anak-anak bersosialisasi dan mereka bermain sepeda. Seorang bapak hanya mampu membelikan sepeda bekas di pinggir jalan. Si anak ternyata tak komplain dengan sepeda bekas. Siang bolong  si anak malah tertawa belajar main sepeda.

Sederhana. Cintailah anakmu dengan sederhana. Cukuplah melihat segala sesuatu dengan cinta. Peluklah dan kecuplah dia.  Sampaikan keterbatasan ekonomi kita. Sampaikan cita-cita kita dan cita-citanya. Pompa semangat untuk menjalani hidup dan berbagi.

Mulailah dari meja makan. Hanya ada satu bungkus gado-gado. Si anak diminta untuk makan duluan. Dia tak mau makan. Makan bareng-bareng. Sebungkus berdua. Ibunya luluh lantak dalam hati ketika sore itu pulang dengan oleh-oleh makanan yang seharusnya jatah makan siangnya. Perutnya yang keroncongan jadi kenyang.

Bersyukurlah, ketika seseorang dikaruniai seorang anak , artinya Sang Maha Pemberi Hidup memberikan kepercayaan. Apakah kepercayaan itu akan kita hancurkan dengan berlaku kejam pada titipan Nya?

Tidak semua titipan sempurna. Tidak semua titipan seperti yang (suami-istri) kehendaki. Apabila itu yang dititipkan maka menerima, ikhlas adalah jalan terbaik. Jangan sekali-kali menyangkalnya. Pada saat menyangkal sebenarnya kita sudah membunuhnya secara perlahan.

Berkorbanlah untuk titipan yang tidak sempurna. Carilah kelebihannya. Asahlah. Motivasilah agar titipan itu bisa menjalani kehidupan dan buatlah bersinar. Memang enak menuliskannya tetapi sulit melaksanakan. Bukti banyak, tinggal kita penerima titipan mau atau tidak. Lihatlah dengan rasa pranala ini.

Kalau kita punya anak maka kita (suami-istri) sudah tak ada lagi. Sekarang waktunya anak. Sekarang kerja untuk anak. Sekarang cinta untuk anak.  Me time, atau  our time  itu hanya pandai-pandailah mengaturnya, walau juga kadang gagal diatur.

Salam cinta untuk anak-anak yang meninggalkan dunia karena kekerasan ataupun yang sekarang sedang dalam kesengsaraan. Tetap semangat. Percayalah pada cinta Sang Maha Pencipta.

Selamat Hari Anak Nasional yang jatuh hari ini 23 Juli 2019.

Sebelum kututup bolehlah kita merenungkan puisi Kahlil Gibran berikut:

On Children

Kahlil Gibran - 1883-1931

And a woman who held a babe against her bosom said, Speak to us of Children.

     And he said:

     Your children are not your children.

     They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

     They come through you but not from you,

     And though they are with you yet they belong not to you.

     You may give them your love but not your thoughts,

     For they have their own thoughts.

     You may house their bodies but not their souls,

     For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

     You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

     For life goes not backward nor tarries with yesterday.

     You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.

    

The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.

     Let your bending in the archer's hand be for gladness;

     For even as He loves the arrow that flies, so He loves also the bow that is stable. (Sumber)

Salam Kompal

Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra

dok. Kompal
dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun