Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Santai, Kalem, Waktu Ujian Merem

2 Juni 2019   16:07 Diperbarui: 2 Juni 2019   16:10 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama tiga minggu terakhir, daku bersama teman perempuanku berada di ibu kota RI. Kami berputar-putar di sekitaran Jakarta pusat.

Pasalnya tak lain dan tak bukan adalah menjaga titipan Ilahi agar mendapat pendidikan yang baik. Kami mendapat tiga titipan Ilahi. Satu bertubuh tinggi besar, bersepatu ukuran 44 walau baru mau belajar di kelas X. Satu lagi Kevin yang sekarang agak kalem karena mukanya sudah berjerawat. Dan selalu membawa pewangi ketek karena keteknya kalau keringatan bau. Satu lagi Kayla yang akan belajar di kelas 7. Perempuan mungil yang suka nyampur seperti cendol. Jadi tahun ini ada dua titipan Ilahi yang akan pindah sekolah.

Kakak ingin sekolah di CC. Sekolah ini membuat aku dan temanku yang membrojolkan Kakak pusing tujuh keliling. Bukan masalah Kakak tak sanggup mengikuti mata pelajaran tetapi masalah kedisiplinan dan gaya Kakak yang selengekan. Apakah itu bisa diterima oleh pihak sekolah?

Mengubah gaya Kakak itu sungguh membuatku takut. Ngusilin adik-adiknya salah satu. Salah dua adalah dia keras kepala, persis sama dengan yang membrojolkannya. Salah tiga adalah kalau dia nggak suka dia akan tunjukkan. Piye iki.

Kawasan seputaran CC itu juga bikin keder. Mall dan juga tempat makan yang lumayan harganya. Ahhh kalau ini mah urusan maknya. Aku nggak ikut. Maknya pandai cari duit. Wak wak wak.

Kayla ingin sekolah di S. Sebuah sekolah yang  legend.  Walau demikian Maknya juga kelimpungan. Pasalnya Maknya dulu pernah sekolah dengan seluruh muridnya adalah berlogo bulat dan tanda +.

Ketika kami masuk di sebuah warung kopi di dekat sekolah S, pada waktu makan siang. Maknya langsung terbelalak.  Hadeewww.  Ternyata isinya sebagian besar adalah anak-anak sekolah S.

Kejutan.  Wak wak wak.  Padahal kami sering ke warung kopi tersebut karena tempatnya asik. Biasanya untuk sarapan pagi ataupun malam hari ketika kepala lagi suntuk. Kami belum pernah ke sini pada jam makan siang

Sambil menikmati  cold brew coffee  dan empat potong roti yang salah satunya berisi tuna, Maknya berguman. "Bangkrut aku kalau begini," katanya.

Daku sih senyum senyum saja karena belum dimintai pendapat. Dan aku paling tak suka bersuara kalau dalam kondisi seperti ini. Tahu dirilah.  Daku bukan pencari uang.  Wak wak wak.

Sambil menikmati roti almond, daku akhirnya buka suara. "Ini bukan soal duit kan?".

Maknya yang sudah tahu dengan gaya kalemku selama beberapa jam terakhir, akhirnya buka suara. "Bukan soal duit sih. Tapi ini soal daya tahan. Soal kemungkinan. Soal harapan. Soal plan b, c dan d".

"Sekolah satu jenis kelamin itu bagus. Cuma itu tadi. Kalau lelaki maka dia akan semakin keras dan agak kurang rasa malu. Demikian pula kalau perempuan kalau sudah melentik ya tambah melentik. Sebaliknya kalau sudah tomboy ya menjadi lebih tomboy lagi. Malunya kurang. Lah semuanya sejenis," kata Maknya.

Kupandangi teman perempuan di depan ku dengan penuh cinta. Ah, sudah ada ubannya. Ah, rambut berombaknya itu. Ah, lesung pipit tersembunyinya.

"Kamu cantik," kataku sambil menatap tajam matanya.

Dia acuhkan pujianku. Menunduk, muka memerah dan memotong rotinya. Perempuan ini dulu pernah sekolah sesama jenis.  Wak wak wak.  Dan dia menjadi semakin tomboy. Hingga kini tidak ada rok kerja. Jeans merupakan celana favoritnya dan hanya satu celana dari kain. Tidak ada rok. Rok kain waktu kuliah selesai, sudah diberikan ke orang lain.

Pada waktu SMA teman perempuanku, bersekolah campur, lelaki dan perempuan. Duduknya pun lelaki dan perempuan. Ngomong seperlunya dengan teman lelaki satu mejanya. Seminggu lebih nggak bisa ngomong, ditambah panas dingin karena bertemu dengan lawan jenis, duduk berdekatan selama jam belajar.

Akankah berulang? Aku nggak berani memberikan jawaban. Dan sampai saat ini aku dan teman perempuanku yang sudah membrojolkan tiga keturunan belum memiliki plan b, c dan d.

Berat ternyata menjadi perempuan. Dari jauh hari dia sudah mikir, anak-anak titipan Ilahi ini mau dibagaimanakan? Sang lelaki malah kalem bae.

Kakak, Kevin dan Kayla ngga mungkin balik dusun. Sekarang tinggal membuat plan b, c dan d. Semuanya tergantung dengan cita-cita  tuh  tiga bocah. Walau demikian perjalanan mereka masih bisa berubah dan panjang.

Semoga aku dan teman perempuanku memiliki daya tahan. Demikian pula hal yang sama kuharapkan pada mereka bertiga.

Loh pernah, Maknya dibuat marah besar karena Kevin nggak mau les karena materi pelajarannya hari ini susah dan Kevin lagi nggak mau menghadapi materi yang susah. Langsung dah, tuh bocah diultimatum oleh Maknya. Mencret dah tuh bocah kalau sudah diultimatum.

Satu siang di sebuah taman kota, seorang lelaki tua mengajak bicara seorang lelaki kecil.  Man to man.  "Game di android sudah level berapa? Dirimu selalu ingin berusaha untuk naik level di game kan.  Kenapa Kevin nggak berusaha seberusaha main di game ketika Kevin ingin naik level di pelajaran matematikamu!,".

Lelaki kecil yang terkadang bau keteknya minta ampun itu lalu memeluk lelaki tua sambil berkata, "maafkan Kevin".

Lihatlah rumputmu. Jangan lihat rumput tetangga. Lihatlah uban teman perempuanmu sebagai keindahan. Lihatlah kenakalan anak-anak yang mbrojol dari teman perempuanmu dengan senyum bahagia.

Aku yang biasa melihat detil, kemudian teringat ketika daku bersama teman perempuanku membaca tulisan, ungkapan di kaos-kaos anak sekolah S yang sedang menunggu jemputan sekaligus makan siang di warung kopi,  salah satunya begini, "Santai. Kalem. Waktu ujian merem".

Aku tahu mereka buat kaos itu untuk hiburan saja. Aku tahu juga mereka di lingkungan yang  legend.  Mereka buat tulisan di kaos untuk membuat orang tersenyum. Aku tersenyum sedangkan temanku tersedak. Perjalanan Kakak, Kevin dan Kayla masih panjang tetapi perjalanan itu tentunya harus sudah punya arah. Tujuan mereka masih jauh, langkah pertama harus diayunkan.

Ketika aku pulang ke dusun. Di pesawat aku tersenyum sendiri. Bukan melihat pramugari yang berkebaya warna biru dan kuning kunyit tetapi aku tahu kenapa teman perempuanku tersedak ketika membaca tulisan, "Santai. Kalem. Waktu ujian merem".

Salam Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun