Seorang teman dibuat kalang kabut ketika WA  down  beberapa waktu lalu. Ada yang kecewa ada juga yang kalem saja. Mereka yang kecewa karena WA membantu pekerjaan mereka mulai dari dokter, perawat sampai pegawai pemasaran. Bagi yang kalem, karena mereka selalu berpikir out of the box.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membenarkan WA  down  ataupun tidak. Keputusan pemerintah selaku pemilik kuasa tentu memiliki alasan untuk men-down-kan WA pada waktu itu.
Tulisan ini hanya mengajak para pembaca Kompasiana untuk berpikir dan selalu memiliki plan b, c ataupun d. Singkat cerita apapun pekerjaan jangan terlalu tergantung dengan teknologi dan turunannya seperti media sosial.
Mari ke  zaman dahulu kala, ketika notebook dan PC masih merupakan barang yang sangat mewah, maka untuk menulis, mesin ketik adalah alat utama. Bagiku itu pilihan pertama kalau ingin menulis berita. Mesin ketik merek B itu ditenteng seperti menenteng notebook saat ini. Sungguh kerja wartawan dulu itu berat. Kamu nggak kuat pastinya. Biar aku saja.  Wak wak wak.
Satu malam dalam satu sesi pelatihan wartawan, guru kami Om Valens Doy (almarhum) mengingatkan kalau dalam sebuah peristiwa itu wartawan harus bersiap menghadapi segalanya. "Lapangan itu selalu penuh warna. Tidak pernah sama pula peralatan pendukung untuk membuat laporan ke kantor," katanya.
Om Valens lalu melatih kami untuk menulis dengan menggunakan pena dan kertas. Sungguh susah. Kami pun diminta untuk tidak menulis beralaskan meja. Ada yang nulis beralaskan lantai. Ada yang nulis beralaskan batu bata.
Menulis dengan mesin ketik saja susah lolos dari Om Valens, apalagi ini dengan menggunakan kertas. Dobel susah jadinya.
Menjadi wartawan itu harus kreatif dan jangan pernah hanya melihat peristiwa tanpa mendalaminya dan berpikir kritis atas suatu peristiwa. Walaupun kami sering salah tetapi kami tetap semangat. Salah satu penyemangatnya adalah Om Valens bila menjelang tengah malam selalu membelikan nasi goreng ataupun mie goreng untuk kami dan beliau paling suka makan buah.
Semua pelajaran dari Om Valens ternyata sungguh membuat diri menyiapkan diri untuk yang terburuk di setiap, ke daerah bencana. Pernah nulis laporan di atas batu dan dikirim dengan faks. Pernah mengirim berita dengan menitipkan ke sopir angdes untuk di--faks-kan ke kantor melalui Wartel di ibu kota kabupaten. Pernah juga membacakan laporan yang sudah ditulis per telepon ke kantor karena faks mengalami gangguan.
Bagi mereka yang pernah tugas di daerah apalagi daerah terpencil plus tertinggal maka pasti harus kreatif dan berpikir  out of the box. Kalau tak kreatif maka penugasan kita jadi tak jalan.
Mereka yang pernah bertugas di daerah itu biasanya memiliki kesabaran yang tinggi kalau sudah di kota. Mengapa? Tak lain dan tak bukan karena mereka pernah mengalami kesulitan untuk melaksanakan tugasnya. Tentu tidak semua demikian. Ada juga yang ketika ditugaskan di kota malah balas dendam.
Seperti itulah. Semua ada, baik ada buruk. Ada yang cukup dan ada yang kurang. Tergantung pada bagaimana menyikapi suatu pekerjaan.
Seorang guru teman perempuan saya, pada suatu waktu memberikan nasehat yang sangat luar biasa. Walaupun aku sedang bermain basket di sebuah lapangan bersama Kakak, sayup-sayup kudengar guru itu mengatakan, "kalau kau mau maju dan sukses maka ajarilah anak buahmu itu dengan baik. Sampaikanlah seluruh ilmu yang ada, padanya. Seriuslah kalau menyampaikan ilmu. Ajari sampai bisa. Jangan sepotong-sepotong," katanya.
Aku dipanggil teman perempuanku itu lalu dikenalkan dengan gurunya. Gurunya tertawa ketika melihat diriku yang gondrong bersama seorang Balita yang selalu tertawa ketika gagal melempar bola dan malah guling-guling di lapangan.
"Ini suamimu. Itu anakmu," kata guru teman perempuanku.Â
"Ia Prof," jawab teman perempuanku.
Ketika pulang, iseng diri yang beruntung dan teman yang tak beruntung itu kutanya, "menyesalkah dirimu dengan lelaki pengangguran dan lelaki kecil yang tak mencerminkan anak seorang priyayi".
"Tidak," jawabnya.
Perempuan itu kini dipercaya mengurusi usaha di 4 pulau yang semuanya sangat tergantung dengan jaringan internet dan telepon serta Medsos. Hampir setiap dua jam sekali perempuan itu dihubungi oleh anak buahnya untuk melihat pekerjaan anak buahnya.
Saat di mana WA  down  dan jaringan  lemot. Perempuan itu tenang dan malah tertawa-tawa dengan anak buahnya di 4 pulau. Perempuan itu mengingatkan untuk selalu menjalankan SOP.
Anak buahnya menjadi mata temanku. Semua itu berkat ilmu yang diberikan oleh temanku pada seluruh anak buahnya. Ia menjadi mata. Mata anak buah itu menjadi mata temanku karena semua ilmunya sama. Temanku hanya meminta untuk mencek ulang apakah SOP sudah dilakukan atau belum untuk hasil-hasil yang agak meragukan.
Sebenarnya email pada waktu WA down masih berjalan baik. Dan itu menjadi pilihan terakhir ketika teman perempuan ragu dengan suatu hasil.
Disiplin. Jujur. Lakukan sesuai SOP. Tanya kalau ragu! Itulah yang sering disampaikan oleh teman perempuanku ketika mengunjungi outlet di tempat usahanya setiap bulan di empat pulau.
"Ketika kita lengah bahwa anak buah sudah menjalankan SOP. Saat itulah malapetaka dimulai. Entah kapan itu pasti terjadi. Jadi aku tak akan pernah capek dan lelah untuk selalu mengingatkan anak buahku untuk bekerja sesuai SOP, bekerja jujur dan benar," katanya.
Balik ke zaman batu. Aku dulu pernah dimarahi menjelang malam ketika aku tak bisa masuk ke lokasi bencana. Dan aku panik, tak bisa menulis apa-apa. Redpel yang menerima teleponku pun marah besar.
"Aku tahu kau capek 10 jam jalan darat dan baru sampai. Tapi kau tak bisa masuk lokasi bencana itu berita! Gambarkanlah dulu situasinya. Kalau ada tokoh masyarakat wawancaralah. Buatlah poin-poinnya dua jam lagi telpon lagi dan itu berita besar. Tapi besok pagi bagaimanapun caranya kau harus masuk ke lokasi dan dapetin foto plus jaga keselamatan dirimu. Itu penting," kata Redpel waktu itu yang ternyata dia suka naik Gunung Dempo.
Balik ke zaman  now.  Aku terharu sekaligus bahagia, satu waktu di satu pulau aku dan teman perempuanku sedang kencan di sebuah tempat makan tetiba ada seorang lelaki menyebut profesi temanku. Salim mencium tangannya dan mencium tanganku.
Lelaki muda itu mengungkapkan kalau dirinya kangen bekerja dengan teman perempuanku. "Tenang dulu Pak, kerja bersama Ibu. Ibu itu terkenal kejam dan brutal plus sangar kalau ngajari. Cuma kalau kami mengalami kesalahan dan ada bagian lain yang marah-marah. Ibu maju duluan. Ibu selesaikan dengan bagian lain dan baru menghajar kami-kami yang salah. Ilmunya juga nggak pelit. Semua diajarkan. Jadi kami kerja nyaman," kata lelaki muda yang ternyata sudah pindah dan kini kerja di sebuah BLU.
"Oh ada satu lagi yang aku kangeni dari Ibu. Ibu itu setiap hari bawa makanan untuk seluruh anak buahnya. Bahkan beliau ada kuis bagi kami yang bisa menyelesaikan pekerjaan lama yang sudah jarang dikerjakan, kalau benar, ibu kasih hadiah," kata si lelaki itu dan kemudian bergabung satu meja dengan kami.
Ah, perempuan ini ternyata tak berubah. Dia selalu menikmati semua pekerjaannya. Dia selalu menebarkan kebaikan dan silaturahim mulai dari daerah perairan Pantai Timur Sumatra tempatnya meniti jalan hidup hingga saat ini yang jauhnya kurang lebih 780 km di zaman now.
Cintailah pekerjaanmu. Jadikanlah bawahan dan rekan kerjamu adalah orang-orang yang berharga. Demikian pula dengan guru-gurumu. Berbagilah ilmu. Ajarilah orang yang tak bisa untuk menjadi bisa dan mengerti. Saat itulah mereka menjadi mata kita. Walau kita tidak ada di sana. Saat itulah kita menjadi manusia yang selalu dikenang kebaikannya bila kita berpisah dengan bawahan ataupun rekan kerja.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H