Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Kami Masih Mak Inilah"

20 Mei 2019   21:09 Diperbarui: 20 Mei 2019   21:22 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila ada dugaan, tuduhan kecurangan pastinya dari bawah sudah heboh dong. Nyatanya di bawah, di tingkat TPS damai-damai saja.

Teman yang sempat ragu mengenai hasil Pilpres pun akhirnya tersenyum dan akhirnya kopi dan gorengan di warung sederhana itupun ludes. Tapi jelas pesan dari pemilik warung tidak boleh bon alias tak boleh hutang. Itu jelas terpampang di depan warung.

Makanannya itu yang super murah. Seribu rupiah tiga biji. Kopi asli dibandrol dua ribu rupiah untuk gelas kecil. Itu yang bikin kangen di Era Revolusi 4.0. Kami membubarkan diri.

Di Punggung Bukit Barisan Sumatra itu, warganya realistis. Mereka sangat terbuka dan bagi yang tak kuat alias tak mengenal kultur mereka maka mereka akan dianggap ceplas ceplos alias tidak sopan.

Padahal mereka semua baik. Gayanya saja beda.

Aku ingat sekali ketika Pilkada 2018 lalu, menjelang sore salah satu calon sudah tahu kalah dan Posko mereka pun dibongkar sore itu juga. Padahal Posko mereka itu selalu rame sebelum hari pencoblosan. Tahu kemungkinan menang tak ada ya langsung bongkar.

Seorang teman yang kebetulan menjabat Ketua KPPS menjelang kami berpisah mengungkapkan kemungkinan untuk curang itu kecil sekali. Sekarang itu tidak ada yang berani. Pasti akan ketahuan karena C1 setelah perhitungan pasti difoto oleh saksi dan kotak suara itu langsung dibawa ke kelurahan. Panwaslu juga pasti punya dokumennya.

Teman-teman ternyata ada yang tidak pulang ke rumah, mereka langsung ke kebun dengan motor modifikasi untuk menaklukan perbukitan menuju kebun kopi. Motor pun meraung.

"Beginilah kami. Kami masih mak inilah. Siapapun presidennya? Tolong kami untuk sekolah gratis dan kesehatan gratis saja. Lainnya kami berusaha sendiri," kata seorang teman.

Kami masih mak inilah memiliki makna, apapun hasil Pilpres mereka masih menjadi petani kopi. Masih menggarap sawah yang punya sawah. Masih menjaga kebun. Masih membeli pupuk. Masih berkubang dengan tanah dan lumpur.

Aku pun bingung ini yang ribut kok yang di pusat. Yang di bawah rukun damai, semoga di dusun-dusun dan talang-talang kami tetap damai dan silaturahim terus terjaga walau yang di pusat selalu menunjukkan drama politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun