Kopi di dusun sedang menuju matang, pada waktu Pemilu serentak lalu. Ketika awak sedang berjalan dari dusun ke dusun hingga ke talang-talang, sebagian kopi ada yang masih mewangi, sebagian lagi sudah menghijau. Usai Pemilu serentak artinya kopi sudah mulai memerah.
Di Punggung Bukit Barisan drama politik Pileg dan Pilpres sudah selesai. Itu yang kubisa lihat. Kalau yang tak bisa kulihat aku tak bisa menyatakannya.
Kawan-kawan pun sudah kembali ke kebun menjaga kebun. Mereka sekarang hanya mendengarkan informasi dari mulut ke mulut. Membaca pesan dari kawan-kawan melalui WA ataupun melihat Youtube.
Walaupun tinggal di dusun ataupun yang lebih jauh lagi di talang-talang tetapi seminggu sekali pasti teman-teman itu pulang ke kampung untuk membeli bahan pokok ataupun silaturahim. Saat itulah informasi masuk mengenai Pemilu serentak.
Kawan-kawan dulu pada Pemilu serentak hanya bicara Pileg. Mereka tak mau bicara Pilpres. Entah kenapa? Di pusat ribut Pilpres tetapi di salah satu titik Punggung Bukit Barisan tak ada ribut-ribut soal Pilpres pada waktu menjelang pilihan.
Justru pernah pada satu kumpulan malam sambil minum kopi dan ubi goreng, kami tertawa terpingkal. Pasalnya, ketika aku iseng menanyakan bagaimana mengenai pilihan Pilpres, tak ada yang mau menjawab satupun. Waktu aku iseng bagaimana dengan Pileg kabupaten/kota, mereka langsung tertawa terpingkal.
Salah seorang mengungkapkan, "dari 27 orang yang hadir malam ini, semua punya pilihan. Tidak ada yang sama. Masing-masing punya jago di Pileg terutama di Pileg kabupaten/kota."
Seorang anak muda menyatakan, "mamang aku nyalon. Dak mungkin aku dak membantunya. Paling tidak satu suara aku untuknya."
Begitulah semuanya guyub. Kopi dan ubi goreng yang dihidangkan pun begitu cepat lenyap dari tikar. Ronde kedua kopi dan pisang goreng pun mesti dibongkar. Sungguh aku kangen untuk kembali kumpul dengan teman-teman di dusun.
Usai Pemilu serentak, awak jalan-jalan ke berbagai titik, bertemu dengan teman-teman yang jadi petugas KPPS ataupun tokoh masyarakat. Pertemuan di warung kopi sederhana membuat kami kembali guyub.
Seorang petugas KPPS bertanya siapa pemenang Pilpres? Awak menjawab diplomatis, "belum adalah dan belum ditetapkan".
"Bagaimana dengan QC?" lanjutnya.
"Itu hanya salah satu alat untuk melihat kecenderungan pilihan masyarakat secara cepat. Itu data primer dari lapangan langsung, di TPS. Ada metodeloginya. Di banyak negara itu biasa dilakukan. Indonesia juga sudah beberapa kali dilakukan. Di Pilgub juga sering dilakukan di berbagai daerah".
"Situng banyak curang," tambahnya.
Situng itu sebagai bentuk transparansi dari KPU. Data scan C1 dari ratusan ribu TPS dikirim, nah itu diinput di Situng.
Masih teringat jelas, saksi Pilpres ketika rapat pleno yang menemukan kesalahan input C1 dari dusun kami, saksi pun menanyakan kesalahan Situng KPU dalam sidang Pleno kabupaten/kota. Komisioner KPU pun menjelaskan kalau kesalahan input tersebut sudah diberitahukan ke KPU pusat dan sudah diperbaiki.
Situng KPU sebenarnya salah satu bentuk transparansi dari KPU. Penghitungan yang dipakai adalah penghitungan manual berjenjang mulai dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
Semua juga tahu. Lalu kenapa sampai sampai seorang petugas KPPS di dusun sampai ragu, padahal di dusun pasca Pemilu serentak semua adem ayem dan damai. Semua itu tak lain adalah narasi yang berhasil dibangun oleh suatu kelompok.
Aku pun mengajukan satu pertanyaan. Apakah ada kejadian di TPS pada waktu Pemilu serentak di dusun kita? Apakah ada kejadian penolakan hasil mulai dari TPS, kelurahan, kecamatan hingga penghitungan pleno kabupaten/kota oleh salah satu pasangan calon Pilpres?
Awak sendiri menjadi salah satu saksi. Awak sendiri ditinggal oleh teman yang pulang duluan karena hingga pukul 02.00 dini hari rapat pleno penghitungan suara kabupaten/kota belum selesai.
Anggota KPPS tak bisa menjawabnya. Dia terdiam, tersentak dan bingung.
Kalau saksi ada yang tak mau tanda tangan, tidak masalah. Hasil rapat pleno tetap sah karena setiap proses perhitungan ada Panwaslu, ada saksi perwakilan partai, ada saksi perwakilan dari calon dan semuanya transparan.
Bila ada dugaan, tuduhan kecurangan pastinya dari bawah sudah heboh dong. Nyatanya di bawah, di tingkat TPS damai-damai saja.
Teman yang sempat ragu mengenai hasil Pilpres pun akhirnya tersenyum dan akhirnya kopi dan gorengan di warung sederhana itupun ludes. Tapi jelas pesan dari pemilik warung tidak boleh bon alias tak boleh hutang. Itu jelas terpampang di depan warung.
Makanannya itu yang super murah. Seribu rupiah tiga biji. Kopi asli dibandrol dua ribu rupiah untuk gelas kecil. Itu yang bikin kangen di Era Revolusi 4.0. Kami membubarkan diri.
Di Punggung Bukit Barisan Sumatra itu, warganya realistis. Mereka sangat terbuka dan bagi yang tak kuat alias tak mengenal kultur mereka maka mereka akan dianggap ceplas ceplos alias tidak sopan.
Padahal mereka semua baik. Gayanya saja beda.
Aku ingat sekali ketika Pilkada 2018 lalu, menjelang sore salah satu calon sudah tahu kalah dan Posko mereka pun dibongkar sore itu juga. Padahal Posko mereka itu selalu rame sebelum hari pencoblosan. Tahu kemungkinan menang tak ada ya langsung bongkar.
Seorang teman yang kebetulan menjabat Ketua KPPS menjelang kami berpisah mengungkapkan kemungkinan untuk curang itu kecil sekali. Sekarang itu tidak ada yang berani. Pasti akan ketahuan karena C1 setelah perhitungan pasti difoto oleh saksi dan kotak suara itu langsung dibawa ke kelurahan. Panwaslu juga pasti punya dokumennya.
Teman-teman ternyata ada yang tidak pulang ke rumah, mereka langsung ke kebun dengan motor modifikasi untuk menaklukan perbukitan menuju kebun kopi. Motor pun meraung.
"Beginilah kami. Kami masih mak inilah. Siapapun presidennya? Tolong kami untuk sekolah gratis dan kesehatan gratis saja. Lainnya kami berusaha sendiri," kata seorang teman.
Kami masih mak inilah memiliki makna, apapun hasil Pilpres mereka masih menjadi petani kopi. Masih menggarap sawah yang punya sawah. Masih menjaga kebun. Masih membeli pupuk. Masih berkubang dengan tanah dan lumpur.
Aku pun bingung ini yang ribut kok yang di pusat. Yang di bawah rukun damai, semoga di dusun-dusun dan talang-talang kami tetap damai dan silaturahim terus terjaga walau yang di pusat selalu menunjukkan drama politik.Â
Jangan sampai makna, kami masih mak inilah menjadi makna negatif yang membuat orang kemudian apatis. Apalagi ke depannya sampai wani piro?
Salam dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H