Perempuan itu walau dengan segala keberhasilannya masih tetap mengenakan cincin besi seharga lima puluh ribu rupiah. Sama ketika suaminya memasangkannya sebagai mas kawin bertahun lalu. Cincin itu tak pernah dan tak ada sedikitpun keinginan untuk diganti.
"Aku tak ingin lupa sejarah. Asalkan kau masih ingin terus membuat sejarah kehidupan denganku. Cincin ini akan tetap kujaga," ujarnya sambil tersenyum tersapu cahaya temaram tempat makan.
Setan yang ada dalam tubuhkupun tersentak. "Perempuan ini menjaga surganya untuk anak-anak dan keluarganya".
"Apa yang tak bisa kuraih. Semua sudah kuraih. Anak tiga. Ganteng dan cantik, tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka cukup bersaing dalam pendidikan. Mereka nakal seperti anak lainnya. Mereka adalah makhluk yang sangat kusyukuri".
 "Ketika perempuan galau antara mengasuh anak dan bekerja. Aku bersyukur aku bisa mengatur dan mengerjakan semua pekerjaan dari rumah sambil merasakan kenakalan tumbuh kembang ketiga anak-anakku. Anak-anakmu juga".
"Aku merasa terhormat atas pemberian Tuhan dan segala kemudahan yang telah Tuhan berikan. Semua itu harus kusyukuri".
"Bohong kalau semua itu kucapai sendirian. Semua itu dimulia dengan menikah dengan cincin besi senilai lima puluh ribu rupiah. Enam tempat kerja cuma dikendalikan dengan gawai. Kalau tak ada dirimu maka aku tak akan bisa mencapai semuanya," katanya sambil menyeruput teh.
Aku yang sudah tersertifikasi masuk nerakapun terpaku. Dulu aku yang banyak ngoceh tentang kehidupan sambil memandang Pantai Timur Sumatra,  lah kini dia yang banyak ngoceh tentang kehidupan sambil memandang Jalan Salemba yang lengang.
"Jangan genit. Jangan TP. Sudah tua," katanya sambil memegang jemariku yang berkulit hitam.
Setan yang ada dalam tubuhkupun kepanasan ketika jemari putih yang mengabdikan dirinya untuk surga tiga matanya itu menyentuh kulitku. Sepanas dan sesakit apapun siksa jemari itu kuterima karena aku sudah tersertifikasi masuk neraka.
Salam Kompal