Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mas Kawin Cincin Besi

4 Desember 2018   11:07 Diperbarui: 4 Desember 2018   11:22 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuangkan Teh I Foto: OtnasusidE

Perempuan itu memang bikin Baper. Dulu mau diajak kawin dengan mas kawin cincin besi seharga lima puluh ribu rupiah. Seluruh keluarganya pun dilawan. Semuanya demi dan atas nama cinta.

Padahal dia satu-satunya anak di dalam lingkungan keluarga kecil dan keluarga besar yang kuliah di di fakultas yang mengikuti jejak kedua orangtuanya. Sebuah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita orangtua. Sebuah pencapaian untuk mengalahkan keinginan diri yang sebenarnya tak ingin ikut jejak orangtua dan keinginan keluarga besar.

Butuh waktu untuk membuka kotak pandora dan memahami perempuan yang memiliki senyum lesung pipit melenting. Hingga pada akhirnya, perempuan ini mau mengalah dan memahami jalan hidup yang harus ditempuhnya dengan titel sosial yang melekat pada dirinya.

Setiap sore, perempuan ini meracik DNA nasibnya dengan bersandar pada punggung lelaki yang berani menggugurkan nasib dan keinginannya. Setiap sore perempuan ini membuka jalan dan selalu bersyukur atas pencapaiannya yang telah dilakukannya.

Teh di meja panjang di ruang kerja, waktu itu yang nun jauh dari kota selalu tersedia sebagai tempat bincang diskusi malam sebelum ke peraduan. Udara laut yang khas. Suara deburan ombak pecah di kaki tiang rumah tempat kerja yang ada di pantai. Kerlap kerlip lampu kapal besar dan nelayan bila malam menjelang menjadi pemandangan yang indah. Sama dengan gemintang di langit cerah.

"Aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga. Mengasuh anak. Membesarkan anak. Mendidik anak. Melayanimu. Menyiapkan air hangat untukmu mandi sepulang kerja malam hari. Menemanimu makan larut malam. Itu sudah cukup bagiku," katanya satu hari di antara rintik hujan di Pantai Timur Sumatra.

Kukecup keningnya yang nonong. Dan dia paling suka dan menikmatinya detik itu sambil memejamkan mata.

Tidak ada dua matahari. Tidak ada dua bulan.

Perempuan itu pun mengambil keputusan yang berat. Sama beratnya ketika dia memutuskan untuk memilih aku untuk menjadi suaminya.

Doanya untuk lolos dalam setiap pendidikan selalu terkabul. Perjuangan dan air mata. Ketekunan dan usaha. Pantang menyerah untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dalam kuliah dan kuliah membuatnya selalu lolos dalam setiap jenjang perkuliahan.

Sore itu di Jalan Salemba, perempuan itu kembali menuangkan teh untuk suaminya. Duduk berdua di bawah lampu gantung sebuah tempat makan. Kami memandang Jalan Salemba melalui kaca.

Perempuan itu walau dengan segala keberhasilannya masih tetap mengenakan cincin besi seharga lima puluh ribu rupiah. Sama ketika suaminya memasangkannya sebagai mas kawin bertahun lalu. Cincin itu tak pernah dan tak ada sedikitpun keinginan untuk diganti.

"Aku tak ingin lupa sejarah. Asalkan kau masih ingin terus membuat sejarah kehidupan denganku. Cincin ini akan tetap kujaga," ujarnya sambil tersenyum tersapu cahaya temaram tempat makan.

Setan yang ada dalam tubuhkupun tersentak. "Perempuan ini menjaga surganya untuk anak-anak dan keluarganya".

"Apa yang tak bisa kuraih. Semua sudah kuraih. Anak tiga. Ganteng dan cantik, tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka cukup bersaing dalam pendidikan. Mereka nakal seperti anak lainnya. Mereka adalah makhluk yang sangat kusyukuri".

 "Ketika perempuan galau antara mengasuh anak dan bekerja. Aku bersyukur aku bisa mengatur dan mengerjakan semua pekerjaan dari rumah sambil merasakan kenakalan tumbuh kembang ketiga anak-anakku. Anak-anakmu juga".

"Aku merasa terhormat atas pemberian Tuhan dan segala kemudahan yang telah Tuhan berikan. Semua itu harus kusyukuri".

"Bohong kalau semua itu kucapai sendirian. Semua itu dimulia dengan menikah dengan cincin besi senilai lima puluh ribu rupiah. Enam tempat kerja cuma dikendalikan dengan gawai. Kalau tak ada dirimu maka aku tak akan bisa mencapai semuanya," katanya sambil menyeruput teh.

Aku yang sudah tersertifikasi masuk nerakapun terpaku. Dulu aku yang banyak ngoceh tentang kehidupan sambil memandang Pantai Timur Sumatra,  lah  kini dia yang banyak ngoceh tentang kehidupan sambil memandang Jalan Salemba yang lengang.

"Jangan genit. Jangan TP. Sudah tua," katanya sambil memegang jemariku yang berkulit hitam.

Setan yang ada dalam tubuhkupun kepanasan ketika jemari putih yang mengabdikan dirinya untuk surga tiga matanya itu menyentuh kulitku. Sepanas dan sesakit apapun siksa jemari itu kuterima karena aku sudah tersertifikasi masuk neraka.

Salam Kompal

logo-terbaru-kompal-2018-5c05fbfabde57505f70ba622.jpg
logo-terbaru-kompal-2018-5c05fbfabde57505f70ba622.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun