Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tukang Sate di Gunung Gare

25 November 2018   12:27 Diperbarui: 25 November 2018   13:08 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Teman perempuanku ketika sedang menginap di Gunung Gare menolak untuk makan sate sendirian di simpang penginapan. Padahal teman ini terlihat memang lagi kebelet makan sate.

Pokoknya perempuan tomboy ini mau makan sate tetapi minta ditemani. Kegaharannya ternyata ciut hanya untuk makan sate. Kami tak tahu apa masalahnya.

Akhirnya aku mengalah dan menemaninya turun ke bawah untuk membeli dan makan sate di bawah. Belum dini hari dan karena besok hari libur, masih rame sebenarnya simpang Gunung Gare.

Kami memesan 40 tusuk plus lontong. Dua puluh tusuk makan di tempat sedangkan 20 tusuk lainnya dibungkus untuk teman yang menginap di sebelah.

Setelah makan dan membayar pesanan. Kami lalu balik ke atas untuk ke kamar-kamar masing. Perempuanku memegang lenganku. Sebagai lelaki normal dan suasana yang gimana gitu akupun bertanya sama si teman ini.

"Kamu kok malam ini galau banget. Tiba-tiba juga pengen makan sate. Terus ketakutan. Padahal kamu itu hampir nggak pernah takut pada semua hal," kataku.

Sambil berjalan teman perempuanku malah memilih memelukku dari belakang ketika melewati serumpunan bambu di komplek Gunung Gare. Lampu terang loh.

Aku melihat ketakutannya, dan bisa memaklumi walau aku nggak tahu penyebabnya. Sambil memegang sate di tangan kiri, tangan kanan memegang tangannya yang memelukku dari belakang. Jalan kami pun tertatih untuk sampai ke kamar.

Duh perempuan jagoanku ketakutan. Sungguh kasihan. Setelah sampai di kamar dan ingin ke villa teman di sebelah untuk mengantarkan sate. Teman perempuanku ikut ke luar dan melihat dari teras.

Usai mengantar sate, di dalam villa aku bertanya ke teman yang sudah menemaniku dalam sedih dan gembira selama puluhan tahun.

Padahal jalanan rusak di daerah jalur di lahap. Ombak besar di Pantai Timur Sumatra demi tugas pada negara diterjang. Malam hari melintasi Sungai Musi mengantar pasien dilakoni.

Ini soal sate yang diingini saja keder. Apalagi ini malah takut manja. Apa nggak aneh.

Akhirnya sambil manja perempuan gagah, cantik, tinggi berambut panjang berkata,  kalau dirinya ingat tukang sate di Film Suzanna, Sundel Bolong dan Film Suzanna Bernafas dalam Kubur.

Dirinya nonton Film Suzanna Bernafas dalam Kubur bersama teman-temannya. Nontonnya rame-rame di Jakarta.

Setelah bercerita perempuanku tenang. Nafasnya teratur.

Akupun bergidik. Dua film yang ternyata selalu ada angka 1 dan 8. Sundel Bolong dirilis 1981 dan Bernafas dalam kubur dirilis 2018.

Kedua film sama-sama ada adegan tukang sate dan Suzanna makan sate 200 tusuk. Dan perempuan cantik yang terlelap di dadaku ini juga sama selalu dilingkupi angka 8. Entah sengaja atau tidak aku tak tahu.

Akupun mencium ubun-ubunnya. Bersyukur nggak ada paku.

Jelang pukul dua dini hari hujan deras dan gluduk beradu di Bukit Barisan Sumatra. Wangi melati tetiba menyemburat di ruangan tidur kami. Aku tersenyum kecut dan memeluk erat perempuan yang sudah berjuang untuk beranak pinak bersamaku. Aku terlelap.

Salam Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun