Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bawi Lamus "Menarik" Kesadaran Cicitnya

18 Oktober 2018   17:17 Diperbarui: 18 Oktober 2018   19:39 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian Perang I Foto: OtnasusidE

Tari perang yang dibawakan oleh para penari lelaki yang lebih bertenaga membuat penonton terkesiap.

Semua mata terhujam ke para penari yang melakukan gerakan dengan irama yang semakin lama semakin keras menggelegar dengan iringan orkestra Erwin Gutawa. Mandau diadu. Suara teriakan pun terdengar menggema menggedor relung jiwa penonton.

Tarian Perang I Foto: OtnasusidE
Tarian Perang I Foto: OtnasusidE
Penari Perempuan Menggigit Mandau I Foto: OtnasusidE
Penari Perempuan Menggigit Mandau I Foto: OtnasusidE
Skill Penari Perempuan yang Mumpuni Berdiri di atas Penari Lelaki Mengobarkan Api I Foto: OtnasusidE
Skill Penari Perempuan yang Mumpuni Berdiri di atas Penari Lelaki Mengobarkan Api I Foto: OtnasusidE
Terakhir, Sophia Latjuba menari ritmis dengan iringan suara Lea Simanjuntak. Sungguh semuanya mencapai puncaknya. Bawi lamus yang dibawakan oleh Sophia menjadi energi Bumi Pertiwi nan cantik agar tetap dipelihara oleh generasi masa kini, demi anak cucu mendatang.

Para penonton pun kembali bertepuk meriah. Standing ovation diberikan.

Seluruh Penari dan Pendukung Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE
Seluruh Penari dan Pendukung Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE
Para penonton setelah lampu menyala ternyata tidak hanya generasi yang sudah berumur seperti kami tetapi juga generasinow. Sungguh bangga ternyata mereka juga mengapresiasi karya seni. Mengakui Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Bawi lamus, perempuan cantik, cerdas dan perkasa sebenarnya adalah Ibu Pertiwi. Representasi dari para perempuan dayak yang tegar dalam menyambut perubahan. Semoga budaya nenek moyang ini dapat terus dipertahankan, selaras dengan alam, mengambil seperlunya dari alam. Semoga kami juga tidak tercerabut dari akar budaya nenek moyang kami.

Setelah keluar dari Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, si kaki kupu-kupu sempat menitikkan air mata. Aku meliriknya. Dan jemari ini memegang tangannya dengan erat.

Satu suara lirihan di plaza terdengar di kupingku.

"Terima kasih Tuhan. Malam ini Engkau menunjukkan betapa kaya dan indahnya Indonesiaku. Betapa beragamnya kebudayaan Indonesia. Terima kasih pula, Engkau masih memberikan kesempatan padaku untuk melihat budaya nenek moyangku".

TIM Jakarta, 22.07. Pertengahan Oktober.

Salam Kompal

img-20180707-wa0031-5bc85b97677ffb63e94c3692.jpg
img-20180707-wa0031-5bc85b97677ffb63e94c3692.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun