Tari perang yang dibawakan oleh para penari lelaki yang lebih bertenaga membuat penonton terkesiap.
Semua mata terhujam ke para penari yang melakukan gerakan dengan irama yang semakin lama semakin keras menggelegar dengan iringan orkestra Erwin Gutawa. Mandau diadu. Suara teriakan pun terdengar menggema menggedor relung jiwa penonton.
Para penonton pun kembali bertepuk meriah. Standing ovation diberikan.
Bawi lamus, perempuan cantik, cerdas dan perkasa sebenarnya adalah Ibu Pertiwi. Representasi dari para perempuan dayak yang tegar dalam menyambut perubahan. Semoga budaya nenek moyang ini dapat terus dipertahankan, selaras dengan alam, mengambil seperlunya dari alam. Semoga kami juga tidak tercerabut dari akar budaya nenek moyang kami.
Setelah keluar dari Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, si kaki kupu-kupu sempat menitikkan air mata. Aku meliriknya. Dan jemari ini memegang tangannya dengan erat.
Satu suara lirihan di plaza terdengar di kupingku.
"Terima kasih Tuhan. Malam ini Engkau menunjukkan betapa kaya dan indahnya Indonesiaku. Betapa beragamnya kebudayaan Indonesia. Terima kasih pula, Engkau masih memberikan kesempatan padaku untuk melihat budaya nenek moyangku".
TIM Jakarta, 22.07. Pertengahan Oktober.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H