Siapakah yang bisa memilih tempat lahir? Wilayah, kebudayaan, dan tempat lahir, dan juga orangtuanya. Pertanyaan dan jawabannya juga klise, tidak ada yang bisa memilih. Sederhana karena memang sesederhana itu hidup.
Entah mengapa si kaki kupu-kupu mengajak untuk menonton Pergelaran Bawi Lamus? Ajakannya itu bertubi-tubi hingga dua minggu sebelum pergelaran dia sudah mengatur jadwal kerjanya agar pada detik Pergelaran Bawi Lamus dimulai tidak ada lagi telepon yang harus diangkatnya hingga selesai pergelaran.
Biasanya dia menyukai pergelaran musik, tetapi ini pergelaran budaya. Ada iklannya di tv dan dirinya langsung kepincut untuk menonton. Ada semacam tarikan kesadaran untuk menontonnya untuk melihat adat istiadat, budaya nenek moyangnya.
![Tiket Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-1-5bc853f5c112fe63641b03c2.jpg?t=o&v=770)
"Aku ingin menikmati Budaya Kalimantan. Aku ingin tubuhku, jiwaku, rasaku bisa merasakan kehidupan nenek moyangku," ungkap kaki kupu-kupu di Taman Ismail Marzuki pertengahan Oktober lalu.
Aku yang mendampinginya puluhan tahun sampai terperangah karena keinginannya yang tulus tersebut. Kami pun akhirnya menukarkan tiket dan menikmati tontonan yang digagas oleh Teras Narang, mantan Gubernur Kalimantan Tengah dan juga tokoh Masyarakat Kalimantan Tengah. Tata artistik digarap oleh Jay Subiakto dan penata musik oleh Erwin Gutawa. Sutradara dan penata pertunjukan Inet Leimena.
Pergelaran Bawi Lamus yang berarti perempuan cantik, cerdas dan perkasa. Kalimantan Tengah dan Kalimantan pada umumnya adalah daerah cantik dan indah yang kini dalam proses perubahan besar.
Perubahan besar dalam pengelolaan kekayaan alamnya mulai dari kayu hingga ke sumber daya alam, minyak dan batubara, serta perkebunan yang semuanya membuka hutan-hutan asli Kalimantan.
Perubahan besar itu mengoyak adat budaya Masyarakat Dayak. Padahal Masyarakat Dayak itu sangat menghormati alam dan mereka hidup selaras dengan alam dalam kehidupan sehari-hari.
Pergelaran selain diisi dengan tarian yang eksotis serta mistis juga dipaparkan video tiga dimensi yang menjelaskan perubahan dan kehancuran alam bila manusia tidak pandai mengelolanya. Nyanyian Lea Simanjuntak mengenai alam sungguh menyayat dan mengena apalagi didukung dengan video kerusakan hutan.
![Salah Satu Tarian di Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-2-5bc853b712ae942ba536def4.jpg?t=o&v=770)
![Para Perempuan Cantik Menari di Pergelaran Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawilamus-5bc8581812ae947a65491be4.jpg?t=o&v=770)
Di setiap segmen setelah tarian usai dibawakan tepuk tangan penonton menggemuruh di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Ketika penari perempuan membawa mandau dan menari, suasana menjadi sangat mistis. Para penonton tercekat. Apalagi ketika penari perempuan menggigit mandau. Semua berjalan seperti trance, liukan dan keserasian gerakan mereka.
Tari perang yang dibawakan oleh para penari lelaki yang lebih bertenaga membuat penonton terkesiap.
Semua mata terhujam ke para penari yang melakukan gerakan dengan irama yang semakin lama semakin keras menggelegar dengan iringan orkestra Erwin Gutawa. Mandau diadu. Suara teriakan pun terdengar menggema menggedor relung jiwa penonton.
![Tarian Perang I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-4-5bc858bb12ae947c13202472.jpg?t=o&v=770)
![Penari Perempuan Menggigit Mandau I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-6-5bc85997c112fe708459b2e4.jpg?t=o&v=770)
![Skill Penari Perempuan yang Mumpuni Berdiri di atas Penari Lelaki Mengobarkan Api I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-7-5bc85a2f43322f2519572185.jpg?t=o&v=770)
Para penonton pun kembali bertepuk meriah. Standing ovation diberikan.
![Seluruh Penari dan Pendukung Bawi Lamus I Foto: OtnasusidE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/bawi-lamus-8-5bc85af0c112fe057c0ffd56.jpg?t=o&v=770)
Bawi lamus, perempuan cantik, cerdas dan perkasa sebenarnya adalah Ibu Pertiwi. Representasi dari para perempuan dayak yang tegar dalam menyambut perubahan. Semoga budaya nenek moyang ini dapat terus dipertahankan, selaras dengan alam, mengambil seperlunya dari alam. Semoga kami juga tidak tercerabut dari akar budaya nenek moyang kami.
Setelah keluar dari Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, si kaki kupu-kupu sempat menitikkan air mata. Aku meliriknya. Dan jemari ini memegang tangannya dengan erat.
Satu suara lirihan di plaza terdengar di kupingku.
"Terima kasih Tuhan. Malam ini Engkau menunjukkan betapa kaya dan indahnya Indonesiaku. Betapa beragamnya kebudayaan Indonesia. Terima kasih pula, Engkau masih memberikan kesempatan padaku untuk melihat budaya nenek moyangku".
TIM Jakarta, 22.07. Pertengahan Oktober.
Salam Kompal
![img-20180707-wa0031-5bc85b97677ffb63e94c3692.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/18/img-20180707-wa0031-5bc85b97677ffb63e94c3692.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI