Siapakah yang bisa memilih tempat lahir? Wilayah, kebudayaan, dan tempat lahir, dan juga orangtuanya. Pertanyaan dan jawabannya juga klise, tidak ada yang bisa memilih. Sederhana karena memang sesederhana itu hidup.
Entah mengapa si kaki kupu-kupu mengajak untuk menonton Pergelaran Bawi Lamus? Ajakannya itu bertubi-tubi hingga dua minggu sebelum pergelaran dia sudah mengatur jadwal kerjanya agar pada detik Pergelaran Bawi Lamus dimulai tidak ada lagi telepon yang harus diangkatnya hingga selesai pergelaran.
Biasanya dia menyukai pergelaran musik, tetapi ini pergelaran budaya. Ada iklannya di tv dan dirinya langsung kepincut untuk menonton. Ada semacam tarikan kesadaran untuk menontonnya untuk melihat adat istiadat, budaya nenek moyangnya.
"Aku ingin menikmati Budaya Kalimantan. Aku ingin tubuhku, jiwaku, rasaku bisa merasakan kehidupan nenek moyangku," ungkap kaki kupu-kupu di Taman Ismail Marzuki pertengahan Oktober lalu.
Aku yang mendampinginya puluhan tahun sampai terperangah karena keinginannya yang tulus tersebut. Kami pun akhirnya menukarkan tiket dan menikmati tontonan yang digagas oleh Teras Narang, mantan Gubernur Kalimantan Tengah dan juga tokoh Masyarakat Kalimantan Tengah. Tata artistik digarap oleh Jay Subiakto dan penata musik oleh Erwin Gutawa. Sutradara dan penata pertunjukan Inet Leimena.
Pergelaran Bawi Lamus yang berarti perempuan cantik, cerdas dan perkasa. Kalimantan Tengah dan Kalimantan pada umumnya adalah daerah cantik dan indah yang kini dalam proses perubahan besar.
Perubahan besar dalam pengelolaan kekayaan alamnya mulai dari kayu hingga ke sumber daya alam, minyak dan batubara, serta perkebunan yang semuanya membuka hutan-hutan asli Kalimantan.
Perubahan besar itu mengoyak adat budaya Masyarakat Dayak. Padahal Masyarakat Dayak itu sangat menghormati alam dan mereka hidup selaras dengan alam dalam kehidupan sehari-hari.
Pergelaran selain diisi dengan tarian yang eksotis serta mistis juga dipaparkan video tiga dimensi yang menjelaskan perubahan dan kehancuran alam bila manusia tidak pandai mengelolanya. Nyanyian Lea Simanjuntak mengenai alam sungguh menyayat dan mengena apalagi didukung dengan video kerusakan hutan.
Di setiap segmen setelah tarian usai dibawakan tepuk tangan penonton menggemuruh di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Ketika penari perempuan membawa mandau dan menari, suasana menjadi sangat mistis. Para penonton tercekat. Apalagi ketika penari perempuan menggigit mandau. Semua berjalan seperti trance, liukan dan keserasian gerakan mereka.