Pagi tadi sambil ngopi seduhan sendiri, mengikuti saran Mbak Sri, Â si kaki kupu-kupu mengirimkan postingan dari WAG sebelah yang diikutinya. Aku yang menerima postingan tersenyum. Sambil menikmati uap teh asli Gunung Dempo, aku konsentrasi tinggi membacanya.
Intinya begini:
"Ini ada kejadian verifikasi rekam medik pasien oleh tenaga asuransi yang tampaknya bukan dokter, meminta agar pasien dengan clear cell carcinoma tidak perlu diterapi lagi, karena sudah clear atau kalau pakai terjemahan web  artinya menjadi : sudah bersih sel kanker".
Dalam bahasa sederhananya, ada seorang dokter mengajukan pinangan ke pihak asuransi, begini loh rencana pengobatan pasien penderita  clear  cell  carcinoma. Kemudian dijawab, rencana pengobatan itu tidak perlu karena sudah  clear.  Terus pasien harus bagaimana? Padahal pasien  kan masih sakit.
Itu pukulan knock out yang menjatuhkan dokter yang merawat pasien tersebut, padahal dokter itu sudah mengambil subspesialis atau konsultan onkologi. Yup, petugas asuransi yang memverifikasi rekam medik pasien itu langsung menolak rencana terapi dokter subspesialis  onkologi berupa kemoterapi clear cell carcinoma karena dianggap sudah clear atau bersih dari sel karsinoma.
Kalau ada dokter ketika rekam medik pasiennya diverifikasi oleh tenaga asuransi yang tidak mengerti medis atau kita bisa sebut tidak kompeten, Â ya... Â bikin dokter sakit hati dan juga kasihan dengan pasiennya. Kalau dokternya cuek, lah yang rugi besar kan pasiennya. Dokter akan mejawab bahwa dia sudah ikut prosedur tetapi pihak asuransi punya prosedur pengobatan sendiri.
Nah, Â kalau sudah begitu, yang sebenarnya menjadi korban itu siapa?
Apakah akhirnya pasien harus berobat ke dukun atau pengobatan alternatif?
Betul, petugas asuransi itu bertugas meneliti terapi yang diajukan oleh dokter apakah sudah sesuai dengan standar panduan klinis atau asuransi. Betul, ini agar tidak terjadi fraud. Â Namun, standar di lapangan biasanya agak berbeda dan ada komplikasi tertentu.
Mbokya... jangan sampai ditolak dulu sebelum dia mengetahui persis apa itu clear cell carsinoma. Penolakan, agar pasien tidak perlu dikemoterapi dari verifikator  asuransi itu, menunjukkan  petugas asurasi merasa  lebih tahu dan lebih pintar dari dokter yang sudah sekolah bertahun-tahun dan selalu menambah ilmu pengetahuannya melalui seminar ataupun pertemuan ilmiah tahunan.  Bagaimana dengan pertimbangan jam terbang  pengalaman dokter dalam menangani kasus?  Apa tidak menjadi pertimbangan?  Sehingga mentah-mentah dipatahkan oleh verifikator yang tidak kompeten.
Seorang dokter butuh waktu sekitar 3,5 sampai 4 tahun untuk mendapat gelar S.Ked. Kemudian calon dokter ini menjalani kegiatan profesi alias koas alias dokter muda, kalau lancar jaya bisa 1,5 sampai 2 tahun.
Adalagi UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter) berupa ujian tulis dan praktek secara nasional untuk menilai calon dokter ini sudah berkompeten atau belum. Ujian ini tidak mudah. Ada yang bisa sekali ujian langsung lulus , tapi ada juga yang sampai beberapa kali. Ujian ini juga memakan waktu karena tidak setiap bulan dilaksanakan. Silahkan dikali waktunya kalau tidak lulus.
Program pendidikan dokter sekarang, setelah lulus mereka tidak bisa langsung praktek. Para dokter ini harus menjalankan internship atau magang selama satu tahun di rumah sakit. Â Apakah mereka dibayar sesuai standar? Tidak. Jumlahnya sangat tergantung dengan kebijaksanaan rumah sakit tempat si dokter magang. Silahkan tanya kepada mereka yang sedang atau sudah magang. Sedih kalau tahu jumlahnya. Â Jangan tanya fasilitas pinjaman kendaraan ataupun rumah dinas. Â Nehi...!
Jadi betapa panjangnya waktu dan besar biaya yang dibutuhkan seseorang untuk dipanggil dokter. Sudahlah, biar mereka saja. Aku takut nanti kamu nggak sanggup. Â : ) Â Senyum
Itu belum ditambah dengan  hal yang tidak mengenakkan, seperti sering dijumpai ada orang marah-marah di ruang gawat darurat, bahkan sampai pernah ada seseorang yang malam-malam menendang tempat sampah  (you  know... lah siapa).  Apakah mereka tahu dokter jaga gawat darurat itu, harus punya sertifikat ATLS (Advanced Trauma Life Support) dan sertifikat ACLS (Advanced Cardiac Life Support), menguasai PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) dan EKG (Elektrokardiogram)?
Pengalaman dokter Sandra yang memutuskan berhenti jadi dokter UGD mungkin bisa menjadi pelajaran, pertimbangan betapa berat beban seorang dokter yang melayani di UGD. Ini link Kompasiananya.
Kalau beruntung, bisa menjadi spesialis yang lama pendidikan sekitar 3 sampai 5 tahun. Lama pendidikan tergantung dengan spesialistik pilihannya. Belum biaya. Biaya SPP, buku, fotokopi, ujian berkali-kali, ujian kompetensi, makan waktu jaga, kos atau ngontrak, dan lain-lain. Kalau yang sudah punya istri/suami dan anak, lebih besar lagi biayanya. Â Biasanya, jarang ada yang mau beri beasiswa untuk dokter melanjutkan pendidikan spesialis. Â Kalau si kaki kupu-kupu, masalah biaya sekolah terbantu dengan beasiswa ABS. Â Beasiswa Atas Biaya Sendiri... wak wak wak.
Si kaki kupu-kupu mencairkan investasi lamanya, yaitu menjual emas simpanan yang dia kumpulkan dari honor sewaktu dia memberi les privat dan menerjemahkan jurnal semasa kuliah S1. Juga penghasilan dari jualan kue, kering tempe orek, atau sop iga yang dijajakannya kepada dosen atau teman sejawatnya tanpa rasa malu.
Nah, setelah spesialis, ternyata masih ada subspesialis. Ini bisa ditempuh dengan waktu 2 sampai 4 tahun. Ini sulit,  tidak semudah orang membaca gelarnya yang hanya ditandai dengan 1 huruf  (K),  dibaca konsultan.
Ada juga yang mengambil gelar doktor alias S3 yang waktunya antara 4 sampai 5 tahun. Sekali lagi ini memakan biaya dan perjuangan. Â Ada teman yang biaya penelitian tembus dua ratus juta lebih.
Total dari dokter umum sampai subspesialis atau doktoral adalah 11 sampai  16 tahun pendidikan.
Kembali ke petugas asuransi tadi, semestinya sebelum menolak ajuan pengobatan dari dokter, lebih baik belajar dulu entah melalui buku atau jurnal atau internet.  Baca-baca dulu  jurnal atau buku medis untuk mengetahui apa itu clear cell carcinoma,  cara menegakkan diagnosis dan prosedur pengobatannya.  Jangan menerjemahkan sendiri clear cell carcinoma menjadi  bersih sel karsinoma.
Bekerja di bidang medis memakai prinsip art and science, seni dan ilmu.  Itulah mengapa butuh waktu bertahun-tahun pendidikan supaya seseorang bisa menjadi dokter yang mampu memadukan seni dan ilmu.  Lebih baik bertanya daripada sesat di jalan.  Selain itu ada unsur tanggung jawab moral.  Setiap nyawa adalah berharga.  Setiap nyawa itu adalah anak seseorang, ibu atau ayah seseorang,  suami atau istri seseorang, teman atau kekasih seseorang.
Kalau temanku yang wartawan ketika kami sering menyusuri jalanan Lintas Sumatra mengatakan, "jangan ajukan pertanyaan hampa. Biar nara sumbernya nggak  bengong  dan menilai kamu itu titik titik.... Kalau mengajukan pertanyaan hampa sama redaktur bakal disebut dengan titik titik ... dan disuruh belajar lagi," kata teman.
Kalau mengajukan pertanyaan sama istri yang terkena cipratan minyak gara-gara goreng telor ceplok, jangan dibilang "sakit nggak, sayang?".
Itu pertanyaan hampa. Â Dan bakal runyam.
Yang jelas yang nulis ini bukan tenaga kesehatan atau tenaga asuransi apalagi dokter. Lalu kenapa penulis menulis ini, ya supaya kita semua  selalu belajar. Tinggal tanya mbah google, kemudian mau belajar atau tidak dengan ahlinya.
Ahlinya ya bukan mbah google tetapi tuh dokter yang sudah sekolah bertahun-tahun. Dokter yang mempertahankan kompetensinya dengan mengikuti  seminar, simposium, pertemuan ilmiah tahunan dan juga pelatihan agar ilmunya terbarui.
Walah, Â ternyata tenaga asuransi itu juga ada pendidikannya dan sertifikasinya loh. Nah!
Kalau kita menyerahkan pekerjaan bukan pada ahlinya... he he he ... pasti kurang baik hasilnya.
Itu saja.
Salam Sehat
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H