Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Babak Cerita dalam Nasi Bungkus Dua Lauk

26 September 2018   11:27 Diperbarui: 27 September 2018   00:03 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat tengah hari di tengah kebut karet yang sedang berguguran dedaunannya. Dua sejoli duduk di bawah pohon karet. Cuaca sedang panas merangas. Daun-daun berguguran. Dua sejoli itu malah duduk nggempor di tanah beralaskan kertas koran. Di hamparan mereka terhidang satu nasi bungkus.

Di dalam sebungkus nasi ada sambal lado yang cukup pedas, dua lauk, rendang dan ayam panggang. Nasi itu sudah dibeli sekitar tiga jam yang lalu oleh si lelaki di warung nasi padang di pinggiran kota.

Yup, si lelaki itu hanya membawa sebungkus nasi padang untuk masuk ke dalam jalanan desa yang licin dan berair seperti kubangan kerbau. Si lelaki memang sudah berjanji untuk membawakan nasi bungkus dua lauk untuk tambatan hatinya.

***

Dua sejoli yang beda segalanya itu bertemu dalam sebuah pertemuan yang tak terjadwalkan. Keduanya dipastikan nggak mungkin bisa akur apalagi menjalin cinta. Sungguh bagaikan bulan dan matahari. Bagaikan siang dan malam. Bagaikan minyak tanah dan air.

Aneh bin ajaib, kalau mereka bertemu semua jadi akur. Apalagi kalau salah satunya sedang bekerja maka salah satu dari mereka akan berkorban dan membantu hingga pekerjaan selesai.

Satu waktu mereka pernah bertengkar karena persoalan lucu, bang sms siapa ini bang, dek sms siapa ini dek. Akhirnya keterbukaan pun meluncur dari mulut masing-masing agar tidak lagi ada unsur kecemburuan yang berlebihan.

Saat itu mereka beli dua nasi bungkus untuk makan siang. Satu nasi bungkus berisi rendang dan sambil lado. Satu nasi bungkus berisi ayam panggang dada dan bumbu rendang tanpa cabe.

Entah tiba-tiba si kaki kupu-kupu memilih untuk mendekatkan dua nasi bungkus itu dan mengaduknya di tengah-tengah. Aku sempat protes karena nasiku bakal terkena sambel lado yang pedas. Kalau tidak terkena sambel lado, paling tidak minyak sambel lado itu bakal merangsek ke seluruh nasi.

Si kaki kupu-kupu tertawa ngakak.

"Kamu tinggal pilih saja makannya. Kita berkompetisi," katanya.

Terus terang waktu itu, aku makan memilih yang tak terkena sambal lado. Cuma mau bagaimana lagi, karena diletakkan di tengah pastinya kena sambal dan minyak sambel lado.

Aku sudah kepedasan. Aku yang sengsara menghabiskan ayam panggang pun akhirnya menuntaskan tugas melahap nasi dan lauk. Kaki kupu-kupu pun tersenyum.

Di bawah Jembatan Ampera ketika pulang tugas, si kaki kupu-kupu mengucapkan terimakasih sudah mencicipi nasi yang pedas. Aku tersenyum.

Aku pun mengucapkan hal yang sama padanya mengucapkan terimakasih sudah mencicipi nasi yang tidak pedas. Kami semua tertawa.

Bagi si kaki kupu-kupu, jelas tersiksa makan nasi rendang nggak pedas. Sebaliknya bagi aku, tersiksa makan ayam panggang pedas.

***

Makan bareng merupakan obat rindu kami berdua. Jadi membawa nasi sebungkus dua lauk itu tidak mudah. Butuh skill kalau naik motor untuk ke lokasi tugas di Pantai Timur Sumatra. Jatuh terpeleset dan terjebak di kubangan nggak apa-apa asal nasi bungkus selamat.

Pada akhirnya ketika tubuh belepotan dengan tanah dan pakaian kotor malah menjadi obat rindu yang sangat dirindukan bagi kaki kupu-kupu. Bagiku belepotan dan berjuangan untuk sampai ke lokasi merupakan kebahagian.

Loh,  apa nggak bahagia ketika datang dan dia, dengan senyum lesung melentingnya menyambut sambil berjas dan terkadang malah sedang memakai handscoon yang lupa di lepas usai melayani pasien. Si kaki kupu-kupu tidak pernah melihat nasi bungkusnya tetapi dia selalu melihat proses nasi bungkus itu sampai di lokasi tugas.

Sambil berdiri di depan pintu ruang kerjanya, perintah pertamanya adalah mandi dulu. Rekan kerjanya pun biasanya tertawa ngakak melihat aku datang berlumpur. Kalau musim panas berganti, muka penuh debu demikian pula dengan jaket yang sudah tertutupi debu.

***

Usai menyelesaikan kerajinan tangannya, aku menyebutnya kalau dia sedang menjahit pasien yang terluka dan butuh jahitan untuk mempercepat kesembuhannya. Atau usai melayani penggemarnya yang aku sebut untuk pasiennya. Kami biasanya berjalan kaki agak ke ujung desa untuk makan nasi bungkus bareng.

Dipilih kebun karet untuk duduk gempor juga tak diketahui sebabnya. Semuanya serba kebetulan dan tak pernah terpikirkan.

***

Setelah beberapa kali makan sebungkus nasi dengan dua lauk membuat kami sepertinya sudah mengetahui posisi lauk dan juga sambel lado dan minyaknya. Anehnya, lama-lama kami makan jadi sudah tahu posisi nasi yang nggak pedas dan nasi yang pedas.

Kalau dalam sebungkus nasi tidak terkena sambel lado  ya  bohonglah. Pastilah terkena dan baunya saja sudah  nyesss.  Apalagi kalau nasi yang dibungkus dengan daun pisang itu panas,  ya  pasti sambel ladonya akan menyebar rasa ke seluruh nasi.

Lalu apakah aku akan protes. Tidaklah, kalau aku tidak bisa menerima si kaki kupu-kupu yang suka pedas, pasti berantakan hubungan ini. Demikian pula kalau si kaki kupu-kupu yang tidak menerima aku yang tidak suka pedas. Semuanya mencapai keseimbangannya di dalam sebungkus nasi dengan dua lauk.

***

Terimalah pasanganmu apa adanya. Terimalah dan cintailah apa adanya ketika sudah mengikat janji.

Kalau lagi ngambek, marah, lihatlah senyumnya. Ingatlah hal yang paling lucu. Ingatlah lagi yang lucu. Ingat lagi yang paling mesra. Tarik nafas dalam-dalam dan bersyukurlah sudah mendapatkannya.

Jagalah hatinya, daripada tu barang mengkerut jadi gantungan spion tengah mobil. Gantungan spion sebenarnya hanyalah simbol kiasan untuk menjagai hati diri dan menjagai hati pasangan.

Salam bahagia, semoga untuk beberapa teman yang sedang galau, ragu dengan pasangannya dapat segera mengambil sikap. Jangan ragu apalagi sampai menggantung.

Salam Kompal

kompasiana.com
kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun