Kata satu ini selalu laris manis kalau ada Pilkada kabupaten/kota, provinsi, dan juga Pilpres. Dalam setiap Pilkada hingga Pilpres kata kemiskinan menjadi manis. Sebuah kata yang diumbar dengan penuh nafsu.
Adu data. Adu cara menghitung. Kadang ada juga yang asal njeplak tanpa data. Ada juga yang ngomong kemiskinan tetapi malah bikin senyum.
Kalau ingat kata kemiskinan dan miskin itu ingat lagi kuliah dan pacaran dulu. Kalau nggak ada duit ya bilang aja miskin sama pacar dan makannya pasti nasi bungkus bagi dua. Atau dibawakan makanan dari rumah oleh si kaki kupu-kupu.
Kaki kupu-kupu yang waktu kuliah bergaya sederhana sempat direndahkan oleh seniornya, dengan menyebut bapaknya jualan ayam di pasar. Oleh si kaki kupu-kupu pun diiyakan saja. Pikir kaki kupu-kupu, kan, nggak salah apapun pekerjaan orang tua kita yang penting halal, mau cuma narik becak ataupun jualan ayam plus potong ayam yang penting itu rezekinya.
Daku yang kuliah cuma memiliki 3 potong celana panjang saja plus satu celana SMU kalau darurat ya tetap dipakai, sempat diejek oleh teman-teman. Ketika menjual jasa membelikan nasi pun sempat diledek tetapi ya biasa saja. Anggap angin lalu. Dan pada akhirnya semua menjadi teman yang baik, bahkan ada teman yang membelikan dua celana jeans cihampelas dengan belelnya yang lagi ngetop waktu itu.
Daku yang tak tahu malu lalu kerja bantu-bantu di sebuah proyek penelitian mulai dari membersihkan ruangan, menyapu, mengepel lantai, membelikan nasi, dan begadang membantu mengetikkan laporan. Akhirnya satu waktu malah diajak penelitian.
Saat itulah daku baru tahu kata "miskin" dan "kemiskinan". Ada miskin yang benar-benar miskin, ada miskin karena faktor kebijakan, ada miskin karena memang etos kerjanya, ada miskin kadang-kadang dan ada juga miskin karena budaya. Saran daku, bacalah An End of Poverty? A Historical Debate"Â (Jones, 2004) dan untuk strategi ekonominya bacalah "The End of Poverty, Economic Possibilites of Our Times (Sachs, 2005) dan juga untuk menambah wawasan baca juga Encyclopedia of World Property (Odekon, 2006) serta The Poverty of Philosophy (Marx, 1847).
Pernah satu waktu dalam sebuah penelitian, daku diminta oleh penanggungjawab penelitian untuk menanyakan penghasilan warga satu bulan di satu dusun. Daku oke saja, ada sekiar 100 kepala keluarga, ya didatangi satu-satu dan daku tanyakan berapa penghasilannya. Ada yang berpenghasilan Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan ada yang berpenghasilan Rp 25 ribu-Rp 50 ribu sebulan.
Hanya setengah hari tugas itu selesai. Malamnya daku laporkan hasilnya ke penanggungjawab penelitian. Tertawa ngakaklah mereka melihat angka-angka yang daku sampaikan.
Daku pun diminta untuk menanyakan pengeluaran, mulai dari beras, lauk pauk, biaya listrik kalau ada, biaya minyak tanah, bensin kalau ada motor, biaya jajan anak sekolah, biaya SPP anak sekolah, biaya berobat, ada sekitar 30 item kalau nggak salah ingat, termasuk merokok dan makan sirih. Wak wak wak. Eh lupa, ditambahi dengan luas kebun, sawah panen berapa kali.
Daku baru menyelesaikan data mentahnya setelah satu bulan lebih berputar-putar di dusun tersebut. Jadi untuk mengukur penghasilan saja tidak bisa hanya keluar dari mulut sekian.
Nah, itulah pengeluaran dan sebenarnya juga pendapatan keluarga tersebut. Itu belum dipilah penghasilan suami atau istri yang kadang ikut bantu penghasilan keluarga di kalangan ya. Itu juga ada catatan tersendiri.
Dulu ada, kalimat, pangkat boleh rendahan tetapi penghasilan dan gaya kepala dinas. Ambil contoh, PNS dulu atau ASN sekarang yang berpangkat kecil tetapi ternyata punya mobil, motor dan punya rumah permanen serta menguliahkan anak di Jawa. Kalau ditanya gajinya jelas nggak mungkin cukup, walau mungkin SK pengangkatan dan SK pangkat terakhirnya disuruh sekolah dulu ke bank. Pasti ada penghasilan lain yang harus digali untuk memenuhi gaya dan juga pengeluarannya.
Hampir semua orang malas menjawab dengan benar penghasilannya. Mereka lebih senang untuk dibilang miskin atau biasa-biasa saja. Mungkin hanya pengacara kondang, Hotman Paris saja yang berani blak-blakan mengenai kekayaan dirinya.
Soal miskin dan kemiskinan ini ternyata heboh juga waktu tahun ajaran baru. Loh, untuk memasukkan anaknya ke sekolah favorit saja, ada orangtua yang nekat membuat surat keterangan tidak mampu. Klik ini ya. Daku saja sampai nggak habis pikir, kok bisa mengingkari rezeki gitu loh. Ini juga diklik.
Untunglah pada waktu harga telur melonjak naik dan heboh nggak ketulungan daku ke lapangan dan kondisinya mencengangkan ternyata. Mereka yang bersentuhan langsung dengan telur dan menggunakan telur setiap hari kalem dan optimis melihat harga telur. Cek mengenai telur di sini ya.
Daku nggak berani menyebut temanku di Talang Slamet, di Punggung Bukit Barisan Sumatera miskin. Lah, wong dia kalau ke kebun kopi selalu senyum. Dua anaknya sekolah. Tinggal di kontrakan ukuran 3 x 7 meter. Kadang jualan nasi uduk dan juga mie goreng kalau malam hari di kontrakan. Punya motor yang rem belakangnya agak blong dan mengandalkan rem depan. Satu keluarga tidur di lantai. Kadang tidur di kebun kalau buah kopi sudah matang. Kadang kerja serabutan untuk membeli beras satu bulan.
Memelihara 3 ekor kambing. Dua ekor betina dan satu ekor jantan. Berharap akan melahirkan anak kambing yang bisa menambah jumlah dan satu waktu bisa dijual.
Daku pernah diajak ke kebun kopinya dan sungguh daku takjub dengan semangatnya mencintai kebunnya. Semangatnya untuk optimis menyongsong kehidupan. Nggak cemen. Luasnya sekitar 2 hektar.
Meloncat ke Amerika Serikat, sebuah negeri impian bagi para pengungsi Afrika, Timur Tengah dan sebagian Asia yang dilanda perang dan perang. Amerika ternyata juga punya penduduk miskin loh.
According to the World Bank, 769 million people lived on less than $1.90 a day in 2013; they are the world's very poorest. Of these, 3.2 million live in the United States, and 3.3 million in other high-income countries (most in Italy, Japan and Spain) (sumber: NYTimes).
The Oxford economist Robert Allen recently estimated needs-based absolute poverty lines for rich countries that are designed to match more accurately the $1.90 line for poor countries, and $4 a day is around the middle of his estimates. When we compare absolute poverty in the United States with absolute poverty in India, or other poor countries, we should be using $4 in the United States and $1.90 in India.
Once we do this, there are 5.3 million Americans who are absolutely poor by global standards. This is a small number compared with the one for India, for example, but it is more than in Sierra Leone (3.2 million) or Nepal (2.5 million), about the same as in Senegal (5.3 million) and only one-third less than in Angola (7.4 million). Pakistan (12.7 million) has twice as many poor people as the United States, and Ethiopia about four times as many (sumber: NYTimes).
Bank Dunia sebenarnya tidak hanya mengeluarkan standar kemiskinan 1,90 USD per hari secara global tetapi juga mengeluarkan standar kemiskinan untuk negara-negara berpenghasilan menengah bawah dan menengah atas di tahun 2015.
Untuk negara berpenghasilan menengah bawah, standar penduduknya disebut miskin jika berpenghasilan kurang dari 3,20 USD per hari dan negara berpenghasilan menengah tinggi disebut miskin kalau penduduknya penghasilan kurang dari 5,50 USD per hari. Lihat World Bank.
Bahkan laporan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB walaupun Amerika Serikat merupakan negara maju yang memiliki teknologi tinggi serta cepat dalam pemanfaatan inovasi teknologi, kemiskinan masih ada di Amerika. Ada sekitar 40 juta jiwa warga Amerika Serikat yang masuk dalam garis kemiskinan (sumber: OHCHR).
Bingungkan melihat data kemiskinan di Amerika Serikat, ekonom Oxford menyebut ada 5,3 juta jiwa penduduk yang miskin absolut sedangkan OHCHR PBB menyebut ada 40 juta jiwa penduduk yang miskin.
Sebaliknya kalau menggunakan data standar Bank Dunia di angka 1,9 USD maka kemiskinan di Amerika Serikat hanya 3,2 juta warga Amerika yang miskin. Semua memiliki alasannya dan metodenya untuk melihat penduduk miskin di Amerika Serikat. Mereka tidak hanya asal njeplak, silahkan di lihat di link yang sudah ditautkan.
Pemerintah Amerika membuat banyak program untuk penduduk miskinnya. Mereka punya jaring pengaman sosial. Jaring itu antara lain, The Social Security Act (1935 oleh President Franklin Roosevelt's); Unemployment Insurance (1935 oleh President Franklin Roosevelt's); Head Start (1964 President Lyndon B. Johnson declared The War on Poverty in his State of the Union speech); Supplemental Nutrition Assistance Program (1964); Medicare/Medicaid (1965); Supplemental Security Income Program (1972); Women, Infants and Children (1972); Federal Pell Grant Program (1972); The Earned Income Tax Credit (1975); Temporary Assistance for Needy Families (1996); Children's Health Insurance Program (1997); The Affordable Care Act (2010 oleh Barack Obama).
Lalu bagaimana dengan Indonesia, apakah punya jaring pengaman sosial juga untuk penduduk miskin? Silahkan dilacak. Program Keluarga Harapan misalnya. Kartu Indonesia Sehat dan juga Kartu Indonesia Pintar adalah dua diantara jaring pengaman sosial tersebut.
Sudah balik lagi nih, ke Indonesia, ke Punggung Bukit Barisan Sumatera, yuk mampir ke sekolah-sekolah setingkat SMU. Eit daku ke Palembang dulu, datanglah ke sebuah SMU yang dekat kuburan maka akan terlihat bagaimana halaman sekolah tak mampu menampung motor. Bahkan beberapa rumah di sekitar sekolahan membuka penitipan kendaraan bermotor.
Lalu bagaimana di perdesaan, di dusun. Daku lebih terkejut lagi. Di ibu kota kabupaten, temanku mengaku untung banyak dari anak-anak sekolah. Ada sekitar dua ratusan motor setiap hari yang diparkirkan di halaman rumahnya.
Masuk ke dalam lagi ke SMU di ibu kota kecamatan, daku lagi-lagi terkejut. Sungguh ternyata sama saja dengan anak-anak SMU di ibu kota kabupaten.
Kalau motor di SMU di pedalaman dusun sebenarnya sebagian adalah motor yang cenderung untuk dibawa offroad melewati perbukitan curam. Motor-motor itu sudah dimodifikasi. Ban cangkul terpasang gagah yang bisa dipasangi rantai bila musim hujan untuk ke kebun ataupun mengangkut hasil kebun.
Ngomongin motor jelas bukan untuk ngomongin Pak De Jokowi yang menghibur dan membuat daku kagum ketika mengendarai moge di pembukaan Asian Games 2018. Pak De juga sudah membuktikan dirinya kalau dia bisa touring. Bahkan dikejar warga tak berbaju ketika touring.
Sungguh sebenarnya konsepsi kemiskinan itu untuk apa? Kalau untuk membuat program pembangunan atau jaring pengaman sosial agar warga dapat menaikkan pendapatannya, menaikkan kesejahteraannya sungguh itu patut diacungi jempol tetapi kalau cuma untuk komoditas politik, daku jadi sedih.Â
Balik lagi ke daku, jadi daku dulu bisa dong disebut mahasiswa miskin la wong makannya belut got dan kangkung liar. Lebih sering jalan kaki daripada naik angkot kalau pergi maupun pulang kuliah. Lebih sering menahan lapar daripada kekenyangan.
Waktu kaki kupu-kupu kuliah lagi, berbulan-bulan pernah makan cuma sama sayur bayam ataupun kangkung ataupun tumis tauge, tempe/tahu. Telur untuk tambahan makan sulung, susu untuk sulung. Kalaupun mau makan buah, nunggu jam 21.00, nunggu potongan harga berlaku. Tak malu jualan tekwan, model, pempek serta kemplang pada teman-teman kuliah.
Ngaku miskin. Maaf. Justru daku takut disebut miskin. Daku lebih senang mengencangkan perut untuk mengejar mimpi daripada ngaku miskin. Daku lebih senang bekerja daripada disebut miskin.
Jangan mau disebut miskin. Bekerjalah. Berusahalah. Tunjukkanlah. Hasilnya ikhlaskanlah pada yang Maha Mengatur alam semesta ini.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H