Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Lelaki dan Satu Perempuan

28 Juli 2018   01:17 Diperbarui: 28 Juli 2018   01:34 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua lelaki kecil itu hampir setiap sore selalu berjalan kaki sekitar 3 km. Sambil membawa bola basket sepanjang jalan mereka tampak tersenyum saling menggoda satu sama lain. Menaiki tangga JPO Kramat mengitari Pasca Sarjana. Sampailah di lapangan basket di belakang Gedung Stovia (Gedung FKUI).

Kalau lagi beruntung dua lelaki kecil itu bersama bapaknya bisa bermain di lapangan. Sambil belajar melempar bola ke ring. Jika lagi apes, paling bermain di pinggiran, lempar-lempar bola. Dikatakan apes karena lapangan basket itu terkadang dipakai oleh mahasiswa-mahasiswa yang menyandang jaket kuning.

Tiga lelaki itu membunuh waktu dengan berjalan kaki dan bermain basket. Tiga lelaki itu pernah ditanya oleh Satpam ketika hari menjelang jingga. Dan dijawab si sulung, kalau mereka menunggu emaknya di Cipto. Satpam pun tertawa dan malah menghidupkan lampu sehingga lapangan menjadi terang benderang dan kami pun melanjutkan permainan.

Keringat mengucur deras. Kaos yang dipakaipun sudah lekat ke badan. Dua lelaki kecil itu seperti batere yang bisa mengisi sendiri.

Apakah mereka akur seperti di lapangan kalau di rumah? Tidaklah. Kadang mereka berebut makanan. Kadang satu sama lain saling ganggu. Kadang satu malas bangun. Kadang satu tidak mau menjalankan kewajibannya. Kadang kompak tidak mau makan karena kurang suka dengan makanan yang disiapkan. Tidak seindah seperti yang terlihat di lapangan. Mereka kadang menjengkelkan.

Sebenarnya tidak hanya dua lelaki kecil itu yang menjengkelkan. Lelaki yang besar juga terkadang menjengkelkan. Tertular iseng mengganggu si kecil. Mulai dari menyembunyikan kaos kaki di sepatu yang saling silang. Hanya membeli satu porsi gado-gado dengan alasan tinggal seporsi padahal nggak ada duit untuk beli tiga porsi.

Nah, kalau sudah lihat seperti itu maka akan terlihat siapa yang akan mau berbagi. Eh, ternyata semuanya mau berbagi. Apalagi kalau makan bening bayam dan tempe goreng semuanya lincah mengunyah.

Sore itu usai main basket. Sulung mengajak kami untuk berjalan-jalan mendekati tempat kuliah emaknya. Aku dan anak-anak terkejut karena melihat tiga orang sakit berada di selasar rumah sakit. Mereka sepertinya menunggu perawatan lanjutan ataupun menunggu untuk mendapatkan ruangan rawat inap.

Di depan gedung tempat kuliah emaknya yang dijaga Satpam kami menunggu. Beberapa Satpam sudah mengenal kami sehingga terkadang suka menggoda 2K.

Nah, kalau tuh perempuan sudah turun dari lift dan keluar dari gedung. Balapan  dah tuh  dua lelaki kecil. Mereka akan teriak dan  cuek  dengan sekitarnya untuk saling rebut memeluk emaknya.  Tuh  bocah seperti sudah nggak ketemu setahun dengan emaknya. Padahal paling banter nggak ketemu 10  jam-an  ataupun kalau lagi jaga  ya  34   jam-an.

Ketika melewati orang-orang sakit yang ada di selasar. Emaknya anak-anak sempat mengajak ngobrol mereka. Setelah itu emaknya anak-anak mendoakan agar mereka cepat sembuh. Anak-anak yang sudah tahu SOP menjauh dan aku yang berada disamping sang istri melihat rona memerah dari pasien-pasien ini.

Muka pasien yang tadinya pucat menjadi agak sedikit memerah. Mereka seperti mendapat perhatian dan juga suntikan semangat untuk sembuh.

Sesampai di rumah, sulung bertanya kenapa emak bertanya mengenai kondisi pasien yang ada di selasar?

Si emak pun bercerita bagaimana dirinya dan teman-temannya di daerah terpencil dulu menyuntikan semangat untuk sembuh dengan obat-obatan yang sangat minimal pada warga yang berobat. Orang yang sakit banyak tetapi obatnya sedikit.

Belum lagi fasilitas dan alat pendukung yang minim. Bagaimana harus membawa vaksin dan menyimpannya agar tidak rusak karena di dusun tidak ada aliran listrik sehingga vaksin di simpan di kulkas dengan tenaga minyak tanah. Kulkas ini harus dirawat dengan baik agar tetap berfungsi.

"Bapakmu itu dulu. Waktu masih pacaran sering sakit maag. Kalau kambuh, emak ini harus ngebut nyetir ambulans untuk menjemputnya. Baru sedetik ketemu emak langsung sembuh," ujarnya sambil tertawa. Dan tawa anak-anak juga pecah sambil bertepuk tangan.

"Lebay," kataku sambil menambah sayur asam dan sambal tempe kering.

Perhatian itu penting. Dengan perhatian maka orang merasa dihargai, diperhatikan, dibutuhkan dan kalau sudah demikian akan ada semangat untuk terus hidup. Itu sudah satu obat yang menguatkan obat-obatan yang memang diberikan pada mereka.

"Emak juga mengucapkan terimakasih  loh  pada kalian bujang berdua dan satu gadis yang membuat emak semangat untuk belajar. Kalian bangun pagi. Mandi sendiri. Makan tidak cerewet. Belajar sendiri dan mengerjakan tugas sekolah dengan baik. Bantu-bantu urusan rumah. Itu sudah sangat membantu emak belajar".

Dan sudah bisa ditebak,  tuh  dua bocah langsung memeluk dari sisi kanan dan kiri. Si gadis pun nimbrung di tengah. Bapaknya cuma cemburu.

Jumat malam Sabtu, emaknya anak-anak sambil duduk di meja kecil sedang memperbaiki tugasnya. Si sulung tertidur di pahanya. Si tengah yang kelelahan membantu menyusun kertas-kertas yang sudah tak terpakai tertidur di tumpukan kertas. Buku-buku dan jurnal berantakan. Si bungsu memilih tidur di dekat dinding.

Berantakan. Jelas. Kamar sempit itu penuh dengan barang. Ada juga piring bekas pisang goreng. Gelas air minum sulung dan bungsu yang tak sempat diletakkan ke dapur.

Indah kalau kita melihatnya dengan cinta dan sayang. Indah kalau kita melihatnya dengan cita-cita masa depan.

Buruk, jelek, berantakan kalau kita melihatnya dari sudut kebersihan, aturan, disiplin. Itu kalau kita melihatnya dari kacamata amarah.

Suatu waktu istriku pernah luluh lantak ketika sulung bilang, "emak kalau nanti punya duit. Beliin aku anggur  ya.  Anggur itu ternyata enak. Tadi main di tempat Andrian diberi anggur".

Istriku tak menjawab. Hanya pelukan yang diberikan pada sulung. Istriku hanya meledakkannya denganku. Air mata itu meleleh di pundakku. Ini bukan sambil berdiri ya. Aku nggantung kalau berdiri.

"Doakan aku kuat. Doakan aku lolos. Aku nggak mau  cum laude.  Aku nggak minta lulus. Aku cuma minta lolos agar aku bisa segera lulus dan segera bisa cari duit," katanya sambil berurai mata.

Kupegang pundaknya. Kutegakkan mukanya. Kutatap matanya. Kukecup keningnya. Kubisikkan,"semua akan baik-baik saja".

Jadi aku sampai saat ini bisa memaklumi kalau kaki kupu-kupu memiliki nilai lebih pada sulung dari 3K kami karena memang sulung ikut dalam perjuangan dan berjibaku untuk mengurangi nakal sebagai anak-anak agar emaknya lolos sekolah. Aku cemburu kalau mereka sedang menghabiskan waktu, makan di tempat favorit. Foto mereka bikin aku gemes dan geli. Apalagi kalau mereka meledek diriku.

Istriku sering menulis komentar di foto mereka berdua, "kencan dengan berondong ganteng".

Aku selalu cemburu setiap sulung memimpin doa. "Tuhan berilah kesehatan emak kami. Tuhan berilah kemudahan emak kami dalam menjalankan pekerjaannya. Tuhan lindungilah emak kami dan kami dari orang-orang jahat yang akan mengganggu kami. Tuhan terimakasih atas semua rezeki yang telah engkau limpahkan pada kami hari ini".

Doa, bungsu selalu bikin senyum dan membuat dua kakaknya nyengir. "Tuhan semoga kakak-kakakku pintar-pintar agar dapat membimbing aku dalam belajar. Tuhan berilah kebaikan pada kakak-kakakku agar tidak  njahilin  dedek".

Doaku, "Terimakasih Tuhan, Engkau selalu memberikan aneka pola kehidupan keluargaku. Tuhan cukupkanlah aku dengan keluargaku dan dengan anak-anakku".

Itulah kelebatan ingatan di kepalaku. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Tanganku berkeringat dan memainkan sapu tangan. Menunggu seorang perempuan berkebaya bersanggul menuju podium untuk promosi terbuka di dalam Gedung Stovia.

Dapatkah perempuan yang sudah mengandung 3 mata ini lolos dari tim penguji? Dia yang ujian kok aku yang stres berkeringat dingin. Dia terlihat  cool.  Beberapa kali aku melihat gerakan khasnya memiringkan kepala sambil memejamkan mata ketika dia berpikir keras menjawab pertanyaan guru besar pengujinya.

Sebuah senyum yang melentingkan lesung pipit akan muncul jika dia mampu menjawab dengan yakin. Kemeja batikku telah basah oleh keringat. Ketiga anak kami menyimak ujian emaknya dengan tenang dan serius selama tiga jam. Ini suatu pelajaran nyata untuk mereka, apa arti kerja keras dan fokus dalam meraih impian tanpa harus banyak petuah.

Ternyata si kaki kupu-kupu dinyatakan lolos dengan IPK 3,9.

Jangkrik. Aku bersyukur. Ternyata genetik pintar 3K dari kaki kupu-kupu. #pasrahaku

Aku tak pernah bertanya mengenai apa yang dimintakan istriku dalam setiap doa.

Who knows...?

Salam Kompal

(Dok. Kompal)
(Dok. Kompal)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun