Aku nggak bisa nyetir, si kaki kupu-kupu tahu itu. Aku hanya nyetir sekitar 6 bulan untuk si kaki kupu-kupu karena dia hamil hingga melahirkan. Perutnya  dah nyenggol setir sedangkan dia mesti kerja dari pagi hingga malam.      Â
Gunung Dempo itu juga soal keramahan. Gunung Dempo itu juga soal ekonomi. Gunung Dempo itu soal kebudayaan. Gunung Dempo itu jantung kehidupan  Wong Pagaralam.
"Kakak lihatlah. Lihatlah dari dekat. Ajaklah ngobrol para pemetik teh itu," kata si gadis canggung sambal memberhentikan mobil di sebuah tikungan.
Akupun turun. Dan sungguh di luar dugaan. Para pemetik teh yang kebanyakan ibu-ibu itu enak diajak bicara. Ngobrol apa saja sambil tertawa. Ketika izin untuk memotret mereka. Mereka pun tertawa.
"Mosok yang dipotret ibu-ibu yang metik teh. Apa nggak salah," katanya.
Mereka tertawa dan tersenyum. Walau begitu tangannya yang terlatih terus bekerja memotongi pucuk-pucuk teh muda. Sambil berbicara satu sama lain dan juga terkadang menjawab pertanyaanku, mereka terus bekerja.
Pagi buta menembus halimun mereka naik truk menuju titik yang telah ditentukan oleh mandor. Mereka bekerja ketika matahari belum mengintip dan selesai setelah petak yang telah ditetapkan selesai dipotong. Pukul 14.00 biasanya selesai. Dan hasilnya ditimbang untuk dibawa ke Pabrik Teh Gunung Dempo.
Petak yang sudah dipotong terlihat jelas, hijau muda. Petak yang belum dipotong terlihat hijau tua. Ini bukan soal rumput tetangga lebih hijau atau si gadis canggung lebih muda. Bukan. Ini soal kualitas Teh Gunung Dempo yang memang ditanam di arah timur sehingga mendapatkan sinar mentari pagi yang menyehatkan.
Teh Gunung Dempo yang dipotong adalah memang yang muda-muda. Jadi silahkan berimajinasi dengan daun muda setiap minum Teh Gunung Dempo.